Bolehkah Membayar Zakat Fitrah Menggunakan Uang, Ini Penjelasannya

Oleh: M. Rufait Balya

Zakat fitrah merupakan zakat yang wajib dikelularkan umat Islam pada bulan Ramadhan. Dan zakat fitrah sendiri dikeluarkan dengan tujuan mensucikan badan serta meningkatkan amaliyah. Menurut konsensus ulama (ijma’) hukum mengeluarkan zakat fitrah adalah wajib, dengan besaran telah diatur yaitu berupa makanan pokok seperti beras sebesar 1 sha’ atau sekitar 2,7 sampai 3,0 kilogram. 

Orang yang wajib mengeluarkan zakat fitrah adalah orang yang memiliki kelebihan harta dari biaya hidupnya dan biaya hidup orang-orang yang wajib ia nafkahi selama sehari pada tanggal 1 Syawal.
 

Kendati demikian, di era modern saat ini membayar zakat fitrah banyak ditunaikan dalam bentuk uang. Dengan catatan, nominal yang dikeluarkan harus setara dengan 1 sha’ makanan pokok. Lantas, bagaimana hukumnya?

Mengenai hal ini, terdapat beberapa pendapat berbeda tentang hukum zakat fitrah menggunakan uang. Imam as-Syafi’i dan mayoritas ulama tidak membolehkan pembayaran zakat dalam bentuk uang, sementara Hanafiyah membolehkan dan mengesahkan.

Sedangkan menurut madzhab Maliki, hukumnya boleh namun makruh, seharga satu sha’ makanan pokok daerah setempat (untuk umumnya masyarakat Indonesia beras 2,75 kg). Dan pelaksanaannya boleh dilakukan saat hari raya atau dua hari sebelum hari raya. Seperti halnya penjelasan Syakh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya Fiqhul Islamiy Wa Adilatuhu:

قال الحنفية : تجب زكاة الفطر من أربعة أشياء: الحنطة والشعير والتمر والزبيب، وقدرها نصف صاع من حنطة أو صاع من شعير أو تمر أو زبيب، والصاع عند أبي حنيفة ومحمد ثمانية أرطال بالعراقي، والرطل العراقي مئة وثلاثون درهماً، ويساوي ٣٨٠٠ غراماً؛ لأنه عليه السلام كان يتوضأ بالمد رطلين، ويغتسل بالصاع ثمانية أرطال، وهكذا كان صاع عمر رضي الله عنه وهو أصغر من الهاشمي، وكانوا يستعملون الهاشمي.

ودليلهم على تقدير الفطرة بصاع أو نصفه: حديث ثعلبة بن صعير العذري أنه قال: خطبنا رسول الله صلّى الله عليه وسلم فقال: أدوا عن كل حر وعبد نصف صاع من بُرّ، أو صاعاً من تمر، أو صاعاً من شعير 

دفع القيمة عندهم: يجوز عند الحنفية أن يعطي عن جميع ذلك القيمة دراهم أو دنانير أو فلوساً أو عروضاً أو ما شاء؛ لأن الواجب في الحقيقة إغناء الفقير، لقوله صلّى الله عليه وسلم: «أغنوهم عن المسألة في مثل هذا اليوم» والإغناء يحصل بالقيمة، بل أتم وأوفر وأيسر؛ لأنها أقرب إلى دفع الحاجة، فيتبين أن النص معلل بالإغناء. (الفقه الإسلامي وأدلته [٣/٢٠٤٤])

Artinya: “Menurut Imam Abu Hanifah, boleh memberikan zakat fitrah dengan nilai barang. Baik berupa dirham, dinar, uang receh, benda, atau apapun yang ia hendaki. Karena hakikat kewajiban zakat ialah menyejahterakan orang fakir sesuai dengan hadis, “Cukupilah mereka dari meminta-minta pada hari seperti ini.” Dan mencukupi itu bisa dilakukan, bahkan lebih maksimal dan lebih mudah, dengan nilai benda, karena lebih bisa memenuhi kebutuhan mereka.

Dan juga penjelasan dari Syekh Ahmad Showi dalam kitabnya Hasyiyah Showi ‘ala Syarh As-Shoghir 1/675:

(وَهِيَ) : أَيْ زَكَاةُ الْفِطْرِ (صَاعٌ) أَرْبَعَةُ أَمِدَاد عُبْرَةُ الْمُدِّ حَفْنَةٌ مِلْءُ الْيَدَيْنِ الْمُتَوَسِّطَتَيْنِ. (فَضَلَ عَنْ قُوتِهِ وَقُوتِ عِيَالِهِ يَوْمَهُ) أَيْ يَوْمَ عِيدِ الْفِطْرِ، وَقَدْ مَلَكَهُ وَقْتَ الْوُجُوبِ. (مِنْ أَغْلَبِ قُوتِ أَهْلِ الْمَحَلِّ مِنْ) أَصْنَافٍ تِسْعَةٍ: (قَمْحٍ أَوْ شَعِيرٍ أَوْ سُلْتٍ أَوْ ذُرَةٍ أَوْ دُخْنٍ أَوْ أُرْزٍ أَوْ تَمْرٍ أَوْ زَبِيبٍ أَوْ أَقِطٍ) : وَهُوَ يَابِسُ اللَّبَنِ الْمُخْرَجِ زُبْدُهُ. وَقَوْلُهُ: (فَقَطْ) : إشَارَةٌ لِرَدِّ قَوْلِ ابْنِ حَبِيبٍ بِزِيَادَةِ الْعَلَسِ عَلَى التِّسْعَةِ الْمَذْكُورَةِ – إلى أن قال – (وَ) جَازَ (إخْرَاجُهَا قَبْلَ الْعِيدِ بِيَوْمَيْنِ) لَا أَكْثَرَ

Artinya: “Zakat fitrah itu satu sha’ yaitu empat mud. Hitungan satu mud adalah setara dengan satu cakupan kedua tangan yang normal. Dimana zakat tersebut merupakan lebihan dari makanannya dan makanan keluarganya pada hari raya idul fitri, dan telah dimiliki olehnya saat waktu wajib zakat. Kemudian zakat tersebut harus berupa makanan pokok yang umum di daerah tersebut yang berupa salah satu dari sembilan golongan makanan ini saja (hal ini menolak pendapat Ibnu Habib yang mengatakan adanya tambahan berupa al-‘Alas sebagai tambahan dari sembilan jenis makanan tersebut), yaitu gandum, jerawut, sult (gandum tanpa kulit), jagung, jawawut, beras, kurma, anggur dan keju (susu yang difermentasi dan keluar sarinya) —-dan diperbolehkan mengeluarkan zakat fitrah dua hari (tidak lebih) sebelum hari raya idul fitri.”

Oleh karenanya, jika ada orang yang mengeluarkan zakat fitrah dengan menggunakan uang itu hukumnya sah, karena ada pendapat yang memperbolehkan.

Dan tidak menutup kemungkinan dengan melihat konteks zaman sekarang, memang lebih realistis dan adanya kemaslahatan jika zakat fitrah itu disalurkan dalam bentuk uang. Ini bukan semata-mata tidak menghargai fatwa Imam Syafi’i, melainkan kenyataan pada saat ini banyak orang yang lebih membutuhkan uang untuk berbelanja daripada beras.

Sebagai tambahan, polemik berzakat dengan menggunakan uang ini sudah dibahas dalam beberapa forum, termasuk dalam forum bahtsul masail yang diselenggarakan oleh Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU). Dalam keputusannya pembayaran zakat fitrah yang diganti dengam uang senilai harga beras 2,7 kg/3,0 kg dibangun atas pertimbangan berikut :

Pertama, sebagian ulama menilai tujuan di balik kewajiban zakat sebagai hikmah saja yang tidak mengandung muatan hukum. Dan menilai hadits Rasulullah saw yang menjelaskan tentang tujuan di balik diberlakukannya kewajiban zakat fitrah, yakni agar pada hari itu para penerima zakat dapat menikmati hidup selayaknya orang yang mampu.

Kedua, sebagian ulama lain (lagi) membolehkannya selama tidak menghasilkan formulasi hukum yang bertentangan dengan ijma’.

Apabila bertentangan dengan ijma’, maka perpaduan mazhab dilarang seperti perkawinan tanpa maskawin (mahar), tanpa wali, dan tanpa saksi. Sungguh perpaduan semacam itu tidak diperbolehkan oleh seorang pun dari kalangan ulama.


https://jatim.nu.or.id/keislaman/bolehkah-membayar-zakat-fitrah-menggunakan-uang-ini-penjelasannya-VCBAi

Author: Zant