Buku Ithaf Al-Dhaki: Mendamaikan Dua Kutub yang Berdegup (1)

 وَكُلُّ مَا سِوَاهُ نَجْمٌ آفُلُ    بَلْ فِى شُهُودِ الْعَارِفِيْنَ بَاطِلُ
فَلَيْسَ إِلَّا اللهُ وَالْمَظَاهِرُ     لِجُمْلَةِ الْاسْمَاءِ وَهُوَ الظَّاهِرُ
فَغَيْرُهُ فِى الْكَوْنِ لَا يُقَالُ    لِاَنَّهُ فِى ذَاتِه مُحَا لُ

Semua yang ada selain Dia 
Bagai bintang-bintang yang lenyap
Di mata para bijakbestari adalah tiada
Tak ada apapun kecuali Allah.
Realitas selain Dia adalah nama-nama Dia.
Selain Dia tak eksis
Karena sejatinya semuanya tak mungkin ada

Begitu menerima buku “Ithaf al-Dhaki”, karya sufi besar Syeikh Ibrahim al-Kurani (1616-1690), dan membacanya beberapa halaman, tangan saya spontan mengepal sambil berteriak kecil dengan kegirangan yang penuh: “Yes!”. Inilah buku yang telah lama dirindukan kehadirannya di negeri ini. “Saya akan mengaji kitab ini kepada para santri”. Saya berteriak girang. 

Maka saya ingin menyampaikan rasa syukur dan apresiasi yang tinggi kepada kang Oman Fathurrahman yang begitu tekun mencari ke sana ke mari sejumlah “makhthuthat” (manuskrip) buku ini, menyidik, menerjemahkan, lalu mempersembahkannya ke hadapan public tanah air yang dicintainya, tepat pada saat dibutuhkan. 

Lebih dari segalanya, secara lebih khusus saya sangat bangga dengan karya ini. Ia telah memberikan pengetahuan kepada kita semua, masyarakat muslim Indonesia, tentang betapa intensnya pergumulan intelektual muslim dunia (Timur Tengah) dengan intelektual muslim (ulama) Nusantara sejak berabad lampau, paling tidak sejak pertengahan abad 17. 

Buku “Ithaf al-Dhaki” sengaja ditulis Syeikh Ibrahim al-Kurani untuk merespon permintaan murid sekaligus temannya dari Nusantara; Syeikh Abdurrauf ibn Ali al-Jawi al-Fansuri, mewakili sejumlah ulama Nusantara yang lain.

Permintaan ini dilatarbelakangi oleh perdebatan sengit di Jawa (Nusantara) tentang ajaran sufisme Syeikh Muhyiddin Ibn Arabi 1165-1240) dan Abd al-Karim al-Jili (1365-1402), tentang “Wahdah al-Wujud”, Kesatuan Eksistensi, yang ditulis dan dikaji oleh antara lain Syeikh Fadl Allah al-Hindi al-Burhanfuri (w. 1620) dalam kitab “al-Tuhfah al-Mursalah”. Tak pelak, pergumulan intelektual tersebut pada gilirannya memberikan sumbangan yang amat berharga bagi pembentukan tradisi keilmuan dan keberagamaan Islam di Nusantara. 

Kehadiran buku ini sungguh menjadi semakin penting dalam konteks keberagamaan masyarakat muslim Indonesia dewasa ini yang tengah diliputi konflik-konflik dan kekerasan demi kekerasan oleh kelompok-kelompok radikal atas nama agama, klaim-klaim kebenaran sepihak dan penyesatan-penyesatan terhadap “liyan” yang tidak sejalan dengan ideology mereka. Rekonsiliasi yang berhasil.

Bersambung

KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU

https://jabar.nu.or.id/hikmah/buku-ithaf-al-dhaki-mendamaikan-dua-kutub-yang-berdegup-1-mv9jE

Author: Zant