Jakarta, NU Online
Dosen Fakultas Islam Nusantara (FIN) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) Jakarta, Ahmad Ginanjar Sya’ban mengatakan humor memiliki fungsi sebagai penyeimbang dua pihak yang sedang berseteru, penetralisir suhu politik, dan sarana kritik terhadap penguasa.
“Humor di antara fungsinya adalah bagaimana menjadi sebuah balance, menjadi sebuah penyeimbang dari dua hal, terkait dua belah pihak yang sedang berseteru untuk memperebutkan kebenaran. Nah di sini saya pikir fungsinya humor adalah untuk menetralisir,” ujar Ahmad Ginanjar Sya’ban pada seminar NU Garis Lucu dan Islam Washatiyah: Mancing Moderasi di Ruang Digital, Rabu (3/8/2022).
Humor Abu Nawas
Lebih lanjut ia menceritakan tentang cerita humor Abu Nawas. Suatu ketika Abu Nawas ditantang oleh kawannya untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak menyenangkan untuk penguasa. Tetapi penguasa tersebut tidak marah, dan bahkan tertawa. Jika berhasil maka Abu Nawas akan mendapatkan seribu dirham.
“Dua menit kemudian Abu Nawas nemu idenya ‘Ya sudah besok kita akan bertemu dengan penguasa, dan aku akan melakukan satu hal yang oleh orang itu dipandang tabu, dan kalau penguasa dilakukan hal itu dia akan marah.’ Kawannya ini bingung masa si Abu Nawas ini bisa kira-kira,” ujar Ginanjar pada acara yang terselenggara berkat kerja sama antara NU Online dengan Fakultas Islam Nusantara (FIN) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia).
Keesokan harinya Abu Nawas datang ke Istana Sultan. Ia memakai kancing baju yang kancingnya itu disusun berdasarkan ukuran dari kecil ke besar, dan di atas sorbannya juga ada kancing yang besar.
“Sultan bertanya ‘Abu Nawas kamu sedang melucu apa hari ini? pakai kancing yang ukurannya aneh, kecil, kemudian besar, paling besar.’ ‘Ya sultan saya masih punya ukuran yang lebih besar lagi.’ ‘Di mana?’. Abu Nawas lalu berbalik, lalu dia nungging ngadepin sultan, pantatnya digoyang-goyang. Ternyata kancing paling besar di taruh di balik celana,” ungkap alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir itu.
Kemudian sultan tertawa terpingkal-pingkal. Begitu juga teman yang menantangnya juga tertawa terpingkal-pingkal. Abu Nawas pun mendapatkan seribu dirham karena melakukan suatu hal yang kalau orang biasa melakukan itu pasti akan marah. Tetapi sultan malah tertawa dengan itu.
“Poin humor, jadi apa pun ternyata di sini humor diperlukan. Ketika disampaikan dengan humor mungkin satu hal yang semula itu keras, yang semula itu tegang ini bisa menjadi lebih soft, kemudian lebih jenaka, dan bisa diterima. Nah, itu cerita daripada Abu Nawas,” paparnya.
Menurut Ginandjar banyak ulama yang menulis karya dalam bidang humor. Misalnya Ibnu Jauzi dengan kitab Akhbar al-Hamqa wa al-Mughaffalin, lalu Al Jahiz dengan kitab al-Bukhala. Kemudian di NU juga banyak literatur-literatur berkaitan dengan humor.
“Saya pikir ini tradisi yang perlu untuk dilestarikan, dan diturunkan agar bagaimana kemudian memahami, dan menjalani beragama ini tidak tegang, tidak dengan kereng (ngotot). Tetapi beragama ini dengan mengasyikkan, beragama dengan menggembirakan. Sehingga orang ketika terjadi hal-hal yang sekiranya berbenturan itu cepat mencarikan solusi. Solusi ini solusi yang sekiranya menggembirakan, bukan solusi yang menciptakan masalah-masalah baru,” pungkasnya.
Peran humor di ruang digital
Sementara itu Guru Besar Antropologi di Emory University James B. Hoesterey mengungkapkan bahwa humor di ruang digital memiliki peran sebagai dalang.
“Meme menurut saya sebagai dalang digital yang serius jadi lucu, yang lucu menjadi serius. Dengan hadirnya NU Garis Lucu di Indonesia ini memang untuk membuat kita justru untuk membasahi sumbu,” ujarnya.
Kontributor: Malik Ibnu Zaman
Editor: Kendi Setiawan
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.