Hukum Bisnis Kemitraan Kuliner dalam Kajian Fiqih Islam

Assalamu’alaikum wr wb. Mohon tanya kepada pengasuh rubrik Bahtsul Masail NU Online, tentang usaha kemitraan kuliner. 

 

Rencananya saya mau bermitra dengan teman yang ahli memasak atau chef. Saya yang menyediakan seluruh modal dan dia yang bekerja mengelola usaha kuliner. Kemudian untung rugi ditanggung bersama. Apakah usaha kemitraan kuliner seperti ini diperbolehkan? Terimakasih atas jawabannya. (Haji Mas – Jawa Tengah) 

 

Jawaban

Wa’alaikumussalam wr wb. Semoga penanya dan para pembaca selalu dalam anugerah dan keberkahan Allah swt.

 

Berkaitan dengan pertanyaan, kemitraan usaha kuliner satu pihak sebagai pemodal dan pihak lain punya keahlian memasak layaknya chef, di mana untung rugi dibagi bersama, hemat kami identik dengan kemitraan dalam akad syirkah taushiyah basithah

 

Merujuk penjelasan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Fiqhul Islami wa Adillatuh, syirkah taushiyah basithah didefinisikan sebagai suatu syirkah atau kemitraan yang mengikat antara beberapa pihak yang mana salah satu pihak menjadi pemodal sekaligus pengelola dan pihak lain sebagai pemodal saja.

 

Dalam konsep dasarnya, pihak yang menjadi pemodal sekaligus pengelola bertanggung jawab atas pengelolaan usaha dan risiko-risiko yang timbul darinya, seperti utang usaha dan semisalnya. Sementara pihak yang hanya berperan sebagai pemodal hanya bertanggung jawab menyediakan sebagian modal, tidak bertanggung jawab atas pengelolaan usaha dan risiko-risikonya. 

 

Syekh Wahbah menyatakan, syirkah semacam ini diperbolehkan karena identik dengan kebolehan mensyaratkan pekerjaan suatu usaha dibebankan kepada salah satu mitra dan hanya menjadi tanggung jawabnya dalam syirkah ‘inan.

 

Syekh Wahbah menjelaskan:

 

وهذه الشركة جائزة أيضاً، لأن فقهاءنا أجازوا في شركة العنان أن يشترط العمل لأحد الشريكين، ويسأل عنه دون غيره

 

Artinya, “Syirkah atau kemitraan seperti ini diperbolehkan juga, karena para fuqaha kita dalam syirkah ‘inan membolehkan persyaratan pelaksanaan usaha dibebankan kepada salah satu pihak dan menjadi tanggung jawabnya, bukan mitra lainnya.” (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985], juz IV, halaman 879).

 

Berdasarkan pemahaman seperti ini pula, dalam syirkah juga boleh disyaratkan tambahan laba bagi pengelola usaha atau gaji tertentu untuknya di luar pembagian laba yang disepakati. Karena pengelola usaha diposisikan sebagai pekerja atau karyawan dalam konteks ini. 

 

Syirkah taushiyah basithah dapat dilakukan dengan format pengelola usahanya satu orang atau lebih. Demikian pula pihak yang hanya berperan sebagai pemodal. Yang penting tanggung jawab pengelolaan usaha dan risiko-risikonya ditanggung oleh pihak-pihak yang berperan sebagai pemodal sekaligus pelaksana atau penanggung jawab usaha. (Az-Zuhaili, IV/879).

 

Masih menurut Syekh Wahbah, syirkah taushiyah basithah ini juga dapat diidentikkan dengan syirkah mudharabah. Mitra yang mengelola usaha identik dengan mudharib yang juga mengelola usaha dalam syirkah mudharabah, yang bertanggung jawab atas jalannya usaha dan risiko-risikonya; sementara mitra yang hanya berperan sebagai pemodal identik dengan rabbul mal atau pemilik modal dalam syirkah mudharabah, yang tidak bertanggung jawab atas jalannya usaha dan risiko-risikonya. Ia hanya menanggung kerugian saat usahanya rugi sesuai modalnya saja.

 

Dalam konteks ini, pengelola tidak dapat dituntut dari kerugian usaha yang sewajarnya. Ia bebas menjalankan usaha sebagaimana umumnya. Bila usaha menghasilkan keuntungan, maka dibagi sesuai kesepakatan sebagaimana dalam syirkah mudharabah

 

Syekh Wahbah menegaskan:

 

وتوزع الأرباح على حسب الاتفاق بين المتشاركين في شركة المضاربة.

 

Artinya, “Keuntungan usaha dibagi sesuai perhitungan yang disepakati antara mitra yang terlibat dalam syirkah mudharabah.” (Az-Zuhaili, IV/879).

Simpulan Hukum

Kemitraan usaha kuliner antara pemodal dengan mitra yang punya keahlian memasak semisal chef, dapat dirujukkan dalam syirkah taushiyah basithah sebagaimana penjelasan Syekh Wahbah Az-Zuhaili, dengan empat ketentuan sebagai berikut:

  1. Pemodal bertanggung jawab menyediakan modal usaha dan tidak menanggung risiko-risikonya kecuali kerugian sebatas modalnya. 
  2. Pengelola usaha bertanggung jawab penuh atas jalannya usaha dan risiko-risikonya semisal utang usaha. Selain itu ia bebas menjalankan usaha sewajarnya. 
  3. Kerugian usaha sebatas modal menjadi tanggung jawab pemodal, sedangkan kerugian usaha lainnya menjadi tanggung jawab penuh pengelola. 
  4. Keuntungan usaha dibagi sesuai kesepakatan antara pemodal dan pengelola usaha. 

 

Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat dipahami dengan baik dan bermanfaat. Kami terbuka menerima kritik untuk penyempurnaannya. Wallahu a’lam

 

Semoga usaha yang direncanakan dapat sukses dan membawa keberkahan bagi seluruh pihak yang terlibat. Amin. 

 

Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online

https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/hukum-bisnis-kemitraan-kuliner-dalam-kajian-fiqih-islam-7hLZa

Author: Zant