Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, merupakan salah satu pesantren tertua dan terbesar di Indonesia yang sampai saat ini masih eksis. Keberadaannya berkontribusi besar terhadap pendidikan di tanah air, ikut mencerdaskan anak bangsa. Bahkan, santri-santrinya kini tak hanya berasal dari Indonesia, tetapi juga dari mancanegara.
Pesantren Lirboyo didirikan oleh Mbah Manab atau yang lebih popular dengan KH Abdul Karim pada tahun 1910 M. Di tahun ini, Indonesia – yang kala itu masih di bawah koloni Hindia Belanda – sudah sembilan tahun terikat Politik Etis atau Politik Balas Budi, sampai datangnya Jepang pada 1942.
Mbah Manab merupakan sosok yang haus ilmu. Beliau lebih dari 23 tahun menghabiskan umurnya untuk menyerap ilmu dari Mahaguru Ulama Nusantara, Syaikhona Kholil Bangkalan. Setelah itu beliau juga mondok di Tebuireng, Jombang, yang diasuh oleh Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, sahabatnya semasa nyantri di Bangkalan.
Di balik ketekunan dan kehausan Mbah Manab pada ilmu, ada kisah menarik yang patut untuk direnungkan dan dijadikan pelajaran.
Berdasarkan penuturan KH Abdul Aziz Manshur, Pengasuh Pesantren Tarbiyatun Nasyiin Pacul Gowang, Diwek, Jombang, Manab kecil sudah ditinggal wafat oleh ayahnya saat umur dua tahun.
Seiring waktu, kemudian ibunya menikah lagi. Tetapi ayah tirinya tak sama dengan ayah kandungnya. “Ayah yang dulu mengarahkan putra-putrinya untuk beribadah, untuk mengaji. Tapi ayah yang kedua mengajak putra-putrinya hanya untuk bekerja saja. Sehingga ibunya sayang kalau anak-anaknya hanya disuruh bekerja saja,” ungkap Kiai Aziz, pada Haflah Akhirusasanah pesantrennya, 16 Juni 2013 silam.
Sang ibu kemudian merelakan diri bekerja agar beban anak-anaknya berkurang. Ia lalu berdagang kecil-kecilan di pasar, yang hasilnya hanya cukup untuk makan keluarga sehari-semalam.
Ketika di pasar, suatu ketika, sang ibu tertarik dengan jarit tulis yakni kain yang dibatik menggunakan tangan. Karena ia merasa tak punya apa-apa, keinginan itu pun ditempuh dengan cara menabung sedikit demi sedikit. Setelah sekitar tiga tahun, barulah tabungan itu cukup digunakan untuk membeli jarit yang diinginkannya. Lalu dibelilah jarit itu, dibawa pulang, dan dipakai di Hari Raya Idul Fitri.
Pada suatu waktu, saat pulang dari pasar, ia melewati rumah milik tetangganya. Di dalamnya si tetangga sedang menangis. Ia berhenti untuk mendengarkan. Lalu diketuknya pintu rumah, dan ia disilakan masuk. Terjadilah percakapan.
“Kenapa kamu kok menangis?”
“Aku semalam melahirkan anak. Aku hanya punya jarit satu. Kalau jarit itu kupakai, anakku kedinginan tak berselimut. Tapi kalau jarit itu kupakaikan untuk menyelimuti anak, aku yang kedinginan.”
Ibu dari Manab kecil pun meneteskan air mata. Ia berpikir sejenak, kemudian pulang.
Sampai di rumah, ia membuka almari sederhana sambil melihat-lihat isinya. Ia mencari adakah pakaian yang layak diberikan kepada tetangganya itu? Ternyata yang pantas hanya jarit yang sudah lama ia inginkan dan butuh waktu sekitar tiga tahun untuk bisa membelinya.
Ia pun nekat mengambil jarit itu dan dibawa pergi ke rumah tetangganya tadi. Sesampai di rumah tetangganya, barang berharga itu pun diserahkan,”Ini Bu, pakailah. Adapun nanti jaritmu, pakaikanlah untuk bayimu,” ucapnya.
Yang diberi itu pun menangis. Bercucuran air matanya. Lalu ia berkata yang mengandung doa, “Bu, semoga kamu dibahagiakan Allah SWT lewat anakmu. Karena aku sedang dalam keadaan susah karena anak, kok aku kau bahagiakan dengan pemberianmu. Aku bahagia karena anak, semoga engkau dibahagiakan Allah SWT karena anakmu.”
Jadi, punya jarit yang sudah diinginkan semenjak tiga tahunan, baru dipakai dua atau tiga kali, sedang senang-senangnya, ada tetangga yang susah dan membutuhkan, diambil dan diberikan.
Menurut Kiai Aziz, keputusan itu sesuai dengan firman Allah SWT: “Lan tanālul-birra ḥattā tunfiqụ mimmā tuḥibbụn…”. Yang artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai…” (QS. Ali Imran: 92).
Berkah doa orang yang diberi jarit tadi, akhirnya beliau diberi putra yang haus, tekun dan rajin dalam menuntut ilmu. Manab kecil kemudian mengembara mencari ilmu bertahun-tahun, hingga dikenal dengan Mbah Manab atau KH Abdul Karim, yang mewariskan Pesantren Lirboyo.
Setelah Mbah Manab, kepemimpinan diteruskan oleh kedua menantunya KH Marzuki Dahlan dan KH Mahrus Ali, lalu diteruskan oleh para dzurriyah-nya.
Kini, pesantren itu terus berkembang, memiliki 40 ribuan santri dari berbagai pelosok nusantara, bahkan mancanegara. Ribuan alumninya tersebar di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai perannya masing-masing. “Di mana-mana ada Lirboyo, di mana-mana ada Mbah Manab, di mana-mana ada Mbah Marzuqi, di mana-mana ada Mbah Mahrus. Dari senggot (ember) mu mereka menimba,” kata Gus Mus dalam puisinya: ‘Lirboyo, Kaifal Hal?.”
Ahmad Naufa, Jurnalis NU Online
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://islam.nu.or.id/hikmah/kisah-kain-jarit-ibunda-mbah-manab-pendiri-pesantren-lirboyo-Euqkh