LP Ma’arif NU: Upaya Menyatukan Ilmu Agama Pesantren dan Umum

Oleh: Prof. Dr. Abdul Malik Karim Amrullah MPdI *)

Misi Lembaga Pendidikan (LP) Ma’arif NU selaras dengan sejarah terbentuknya NU dan madrasah sebagai salah satu lembaga yang berupaya untuk mengintegrasikan antara ilmu agama di pesantren dengan ilmu umum (sekuler) yang sudah dikembangkan oleh sekolah.

Istilah madrasah pertama kali dikenal pada masa abad 450 H yaitu kebangkitan Islam di Baghdad, meskipun madrasah saat itu lebih tepat diartikan sebagai perguruan tinggi, namun madrasah sudah menjadi role model bagi perkembangan madrasah yang ada di Nusantara.

Madrasah Nidhomiyah yang lebih populer saat itu, memiliki misi untuk menjaga ideologi sunni, juga membangun jaringan madrasah misalnya di Naysabur, Baghdad, Isfahan yang saat itu dikenalkan sistem waqaf, juga madrasah Jazirah Ibn Umar (Radhi al-din). Kurikulum yang dikembangkan saat itu adalah integrasi antara Kurikulumnya Agama (as-Syariyat) dan Aqliyah, filsafat, fisika, astronomi, Geometri (handasat), arithmetic (al-Hisab), kesenian (al-Haiat), hukum dan kedokteran).

Sedangkan NU sendiri yang akhirnya mendirikan bagan Ma’arif yang bergerak di bidang pendidikan juga tidak lepas dari dinamika sebelum terbentuknya NU tahun 1926 yaitu antara lain Modernisasi Pendidikan Mesir, Muhammad Abduh (1849- 1905), Komite Hijaz KH Abdul Wahab Chasbullah,

Sejak Ibnu Saud, Raja Najed yang beraliran Wahabi, menaklukkan Hijaz (Makkah dan Madinah) tahun 1924-1925, aliran Wahabi sangat dominan di tanah Haram. Kelompok Islam lain dilarang mengajarkan madzhabnya, bahkan tidak sedikit para ulama yang dibunuh. Berdirinya Madrasah pertama di Padang 1907, Adabiyah School, berdirinya Madrasah Salafiyah di Tebu Ireng 1916, integrasi agama dan umum, Madrasah Misbahul Watan 1923 yang kini bertransformasi menjadi madrasah al-Maarif Singosari sejak 1978.

Saat berdirinya NU 1926 itu ada tiga pilar yang diusung yaitu Wawasan Ekonomi Kerakyatan, yang sudah dimulai 1918 oleh Nahdatut Tujjar, Wawasan Keilmuan, Sosial dan Budaya, Wawasan Kebangsaan. Kemudian dinamika terbentuknya bagian Ma’arif yang bergerak khusus dalam bidang pendidikan NU ditandai dengan keputusan Muktamar NU tahun 1927, warga NU bersepakat menggalang dana untuk mendirikan madrasah dan sekolah.

Pada Muktamar berikutnya di 1928, para elite NU yang dipimpin oleh KH A Wahab Hasbullah mengadakan gerakan peduli pendidikan dengan mengunjungi pesantren-pesantren kenamaan di Jombang dan Nganjuk Jawa Timur. Selain itu juga Pertemuan KH A Wahid Hasyim, KH Mahfudz Shiddiq dan KH Abdullah Ubaid pada September 1929 di Kantor Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) yang terletak di daerah Bubutan Kawatan Surabaya. Adapun agendanya antara lain merespons usulan dari KH A Wahab Hasbullah agar NU memiliki badan khusus yang mewadahi dan menangani pendidikan.

Dinamika di atas seakan-akan menjadi tonggak berdirinya bagian Ma’arif 19 September 1929 untuk menetapkan misi Menjaga Ideologi Ahlusunnah walJama’ah (empat madhab, teologi Asyari), Moderasi Beragama, Wawasan Kebangsaan, Modernisasi Pendidikan yaitu Integrasi antara Ilmu Agama dan Umum, Kemandirian, melalui gerakan ekonomi kerakyatan dan gerakan waqaf yang selama ini menjadi fitrah LP Ma’arif.

Misi tersebut harus betul-betul diperhatikan serius oleh LP Ma’arif, karena para pendiri Ma’arif adalah para ulama’ yang berjiwa besar, dan lulusannya diharapkan memiliki jiwa besar, ma’arif juga eksis hingga saat ini itu berarti lembaga pendidikan ini memang sudah survive cukup lama yang pastinya tidak mudah menjaga eksistensi yang begitu lama jika tidak dikelola dengan jiwa yang besar.

Tentu kita tahu memang akhir-akhir ini terjadi, problem besar dalam manajemen Ma’arif yaitu sengketa tanah waqaf, data base lemah, sehingga tidak memperhitungkan kuantitas potensi madrasah, konflik yayasan, kepala sekolah, dan guru, budaya riset masih lemah, internalisasi nilai Aswaja yang mulai rapuh.

Problem di atas beberapa sudah mulai diupayakan untuk diselesaikan misalnya melindungi aset waqaf dengan badan hukum NU, menyelaraskan kembali visi Aswaja di semua sekolah dan madrasah NU (Constructive alignment), membangkitkan kepercayaan madrasah di bawah Ma’arif, menimbulkan impact ekonomi, menata data base madrasah di bawah Ma’arif, mengembalikan lagi impact ekonomi untuk pengembangan madrasah dan kesejahteraan guru di bawah Ma’arif, mengembangkan riset teknologi berbasis nilai-nilai Islam Aswaja, mengembangkan model kepemimpinan kolektif, kolegial, dan transformatif.

Meskipun sudah dimulai model pengelolaan tersebut di atas oleh LP ma’arif, maka sudah saatnya ada semacam lembaga sertifikasi kepala madrasah dan sekolah di bawah LP Ma’arif agar mampu menyelesaikan problem yang selama ini ada. Kepala madrasah dan sekolah ma’arif diharapkan memiliki kompetensi mampu menjaga ideologi Aswaja, memahami Aswaja serta menerapkan dalam sistem manajemen sekolah/madrasah, memahami dan menerapkan nilai cinta tanah air dalam tata kelola sekolah dan madrasah, mampu mengembangkan sistem data base sekolah/madrasah, mampu melakukan supervisi dengan baik, mampu mengembangkan sumber-sumber pendanaan untuk kesejahteraan guru dan pegawai.

Dari kemampuan dan kompetensi di atas setidaknya LP Ma’arif harus memiliki system pendidikan khusus yang mencetak kepala madrasah misalnya selama 6 bulan ada semacam sertifikasi kepala madrasah dan sekolah di bawah LP Ma’arif sehingga setidaknya mereka memiliki bekal pengetahuan dan praktek baik di sekolahnya masing-masing untuk melakukan projek perubahan yang lebih baik.

*) Prof Dr Abdul Malik Karim Amrullah MPdI, Ketua PC LP Ma’arif NU Kabupaten Malang dan Guru Besar Pendidikan Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.


https://jatim.nu.or.id/opini/lp-ma-arif-nu-upaya-menyatukan-ilmu-agama-pesantren-dan-umum-XnB89

Author: Zant