Memahami Kaidah Fikih: Larangan Menerima dan Memberikan Barang Haram

Oleh: Ahmad Bissri Fanani*

Dalam kehidupan sehari-hari, manusia dihadapkan dengan berbagai pilihan, termasuk dalam hal menerima dan memberi sesuatu. Menyikapi hal itu, para ulama menyimpulkan kaidah fikih yang berbunyi “Ma haruma akhdzuhu haruma i’thauhu”. Kaidah tersebut memiliki makna penting dalam mengantisipasi terjadinya maksiat melalui serah terima barang. Berikut penjelasannya.

Makna dan Dalil Kaidah

Mendengar kaidah yang berbunyi “Ma haruma akhdzuhu haruma i’thauhu” spontan yang terlintas dalam pikiran adalah setiap perkara yang haram diterima, maka haram diberikan. Tapi sebenarnya terdapat tiga kata penting yang harus diresapi secara detail agar tidak salah dalam memahami, antara lain; al-akhdzu, al-i’tha dan haram.

Redaksi al-akhdzu dan al-i’tha’ melambangkan bahwa yang dimaksud dari pemberian dan penerimaan dalam kaidah fikih ini adalah segala bentuk penyerahan dan pemberian, baik dalam rangka naqlu milki (memindah kepemilikan) seperti jual beli ataupun selainya, seperti meminjam dan menitipkan [Ahmad Az-Zirqa, Syarh Qawaidil Fiqhiyah (Damaskus: Dar Al-Qalam, 1989), 215.]

Kemudian haram, ini sudah sangat populer sekali maksudnya, yaitu larangan dari syariat. Barang siapa yang melakukan akan mendapat siksa dan yang meninggalkan akan mendapat pahala. Adapula ulama yang menjelaskan haram sebagai titah Allah SWT. yang bemakna larangan (nahi) secara tegas. Contohnya surat Al-Isra’ ayat 32 yang menjelaskan larangan zina. Dikatakan tegas lantaran tidak ada dalil lain yang menunjukan adanya potensi kebolehan, beda halnya dengan makruh. [Abdul Wahab Al-Khalaf, Ilmu Ushul Fikih (Beirut: Dar Al-Kotob Al-ilmiyah, 2016), 87.]

Dari tiga kompenen itu kalau disatukan akan terangkai sebuah makna bahwa segala bentuk pemindahan tangan barang yang haram dari satu orang ke lainnya itu tidak diperbolehkan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Musthafa Az-Zuhaili  dalam Qawaidul Fiqhi wa Tatbiqatuha fi Mazahibil Arba’ah:

إن الشيء المحرم الذي لا يجوز لأحد أن يأخذه ويستفيد منه يحرم عليه أيضاً أن يقدمه لغيره ويعطيه إياه، سواء أكان على سبيل المنحة ابتداء، أم على سبيل المقابلة

Artinya: “Sesungguhnya perkara haram yang tidak boleh bagi siapapun untuk memperoleh dan memanfaatkanya, maka haram pula baginya untuk menawarkan dan memberikan kepada selainnya. Baik sebagai hadiah atau ada tukar baliknya”

Kaidah fikih “Ma haruma akhdzuhu haruma i’thauhu” memiliki kedekatan makna dengan kaidah “Ma haruma isti’maluhu haruma Ittikhadzuhu” dan “Ma haruma fi’luhu haruma thalabuhu”. Syaikh Muhammad Shidqi bin Ahmad bin Muhammad Ali Burnu menjelaskan bahwa kedekatan kaidah tersebut dalam segi tujuannya, yakni mengantisipasi dilaksanakannya keharaman, baik memperoleh, memberikan, memakai, mengupayakan, melakukan dan menyimpan [As-Sidqi Ali Burnu Muhammad, Al-Wajiz fi Iydhahi Qawaidil Kuliiyah (Beirut: Muasisah Risalah Al-Ilmiyah, 1996), 387.]

Alasan mendasar adanya kaidah ini berporos pada kasus tolong menolong dalam hal maksiat, terhitung maksiat pula. Allah berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 2:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksaan-Nya.” 

Dalam kaidah ini memberi pemahaman bahwa tindakan yang menjembatani terjadinya perkara haram lantaran menerima perkara haram akan terwujud dengan memberi. Misal Si A memberikan uang curian kepada Si B, maka keduanya akan mendapat dosa. Si B mendapat dosa karena menerima uang curian yang notabene haram diterima sedangkan Si A menjadi perantara Si B menerima barang curian.

Penerapannya dalam Sebuah Kasus

Imam Jalaludin As-Suyuti memberikan contoh penerapan kaidah dalam permasalahan yang ada di kitab fikih, sebagai berikut:

1.    Permasalahan akad riba yang haram, baik dari pihak pembeli (akhdzu) dan penjual (i’tha’)

2.    Keharaman memberi dan menerima suap (risywah)

3.    Keharaman menerima dan memberi upah dukun dan pelacur

Tentang keharaman upah dukun dan pelacur berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw.:

عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَمَهْرِ الْبَغِىِّ وَحُلْوَانِ الْكَاهِنِ

Artinya: “Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra: “Sungguh Rasulullah saw melarang dari harga anjing (diperjualbelikan), upah pelacuran, dan upah perdukunan.” (HR.Muslim)

Imam an-Nawawi menukil pendapat Imam Al-Baghawi yang berpendapat bahwa keharaman upah pelacur dan dukun lantaran keduanya menjadi ganti dari perkara yang haram sehingga termasuk dari aklu mal bil bathil (memakan harta dari kebatilan).[ n-Nawawi, Sarh an-Nwawi ’Ala Muslim (Dar Ihyai Turast ’Arabi, t.t.), juz. 10, hal. 231.]

Kalau dibawa ke permasalahan kontemporer kita akan mengenal yang namanya sewa jasa pengacara dan menyawer. Kalau ditelaah lagi menyewa pengacara bisa terkategori risywah, kalau memang seseorang menyewa agar menang di pengadilan padahal ia tahu bahwa dirinya yang bersalah

Permasalahan saweran /menyawer konsepnya sama dengan mahril baghyi (upah pelacur). Orang tidak akan menyawer kalau penyanyi atau lebih dikenal dengan biduan (bahasa Jawa) tidak menyanyi di dihadapannya sambil joged. Dan rata-rata para biduan berjenis kelamin perempuan sedangkan yang menyawer adalah laki-laki yang bukan mahramnya.

Maka disimpulkan uang saweran adalah ganti dari perkara haram yaitu nyayian dan jogedan para biduan di hadapan orang yang bukan mahramnya. Itu termasuk dari aklu mal bil bathil (memakan harta dari kebatilan) sebagaimana upah pelacur. Alhasil, menerima uang sawer hukumnya haram begitupula menyawer.

Pengecualian Kaidah

Imam Jalaludin Suyuti memaparkan kaidah “Ma haruma akhdzuhu harumaiI’thauhu” memiliki pengecualian di antaranya adalah membayar hakim supaya mendapatkan haknya. Konteks masalah ini adakah hakim tidak akan memberikan hak si klien kecuali dengan upah. Maka Sang hakim haram untuk menerima sedangkan pihak klien tidak haram membayarnya. 

Harta pada kasus  itu sebenarnya termasuk kategori risywah, sebagaimana pendapat Imam  Al-Fayumi:

قال الفيّوميّ: الرّشوة: ما يعطيه الشّخص الحاكم وغيره ليحكم له أو يحمله على ما يريد

Artinya: “Al-Fayumi berkata:’Risywah adalah apa yang diberikan seseorang kepada hakim atau selainnya supaya memutuskan hukum untuknya atau mengarahkan kepada apa yang ia hendaki.

Namun, tidak semua risywah hukumnya haram. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami  dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Sarhi Minhaj memberikan batasan sebagai berikut:

وَمَتَى ‌بُذِلَ ‌لَهُ ‌مَالٌ لِيَحْكُمَ بِغَيْرِ حَقٍّ، أَوْ لِيَمْتَنِعَ مِنْ حُكْمٍ بِحَقٍّ فَهُوَ الرِّشْوَةُ الْمُحَرَّمَةُ إجْمَاعًا. وَمِثْلُهُ مَا لَوْ امْتَنَعَ مِنْ الْحُكْمِ بِالْحَقِّ إلَّا بِمَالٍ لَكِنَّهُ أَقَلُّ إثْمًا

Artinya: “Kapanpun suatu harta diberikan kepada hakim supaya menghukumi tidak sesuai kebenaran atau menyimpan hukum kebenaran maka itulah risywah, begitupula tatkala sang hakim tidak akan menghukumi dengan kebenaran kecuali dengan uang namun hal tersebut dosanya lebih kecil

Meninjau penjelasan Imam Al-Fayumi dan Imam Ibnu Hajar, apa yang diberikan klien kepada hakim statusnya adalah risywah. Namun hanya haram untuk diterima oleh hakim. Beda halnya dengan klien yang masih boleh untuk membayarkan kepada hakim. Maka hadis Nabi Muhammad saw. bahwa beliau melaknat orang yang memberi dan menerima risywah bukan dalam konteks ini.

Kesimpulan

Makna kaidah fikih “Ma haruma akhdzhuhu haruma i’thauhu” adalah segala bentuk pemindahan tangan barang yang haram dari satu orang ke orang lainnya itu tidak diperbolehkan. Kaidah tersebut memiliki kedekatan dengan dua kaidah yakni “Ma haruma Isti’maluhu Haruma Ittikhazuhu” dan “Ma Haruma Fi’luhu Haruma Thalabubu” dalam segi mengantisipasi dilaksanakannya keharaman, baik memperoleh, memberikan, memakai, mengupayakan, melakukan dan menyimpan. 

​​​​​​​Imam Jalaludin Suyuti menyebutkan contoh penerapan kaidah antara lain; kasus upah pelacur, dukun serta ahli nujum, risywah dan upah pembuat patung. Semuanya haram diterima begitupula diberikan. Kaidah tersebut juga dapat diseret untuk menyelesaikan kasus kotemporer seperti sawer dan menyewa pengacara. Sedangkan tentang pengecualian kaidah Imam Suyuti menyebutkan beberapa salah satunya adalah membayar hakim supaya mendapatkan haknya.
 

*Mahasantri Ma’had Aly Annur II, Malang


https://jatim.nu.or.id/keislaman/memahami-kaidah-fikih-larangan-menerima-dan-memberikan-barang-haram-oUcGO

Author: Zant