Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, spesifikasi, keutamaan dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat As-Syarh Ayat 1:
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ
Alam nasyrah laka shadrak.
Artinya, “Bukankah Kami telah melapangkan dadamu (Nabi Muhammad)”.
Spesifikasi Surat As-Syarh
Surat ini merupakan surat ke-94 dalam urutan Mushaf, dan diturunkan setelah surat ad-Dhuha. Mayoritas ulama mengklasifikasikannya ke dalam surat Makiyah kecuali Ibnu Abbas yang mengatakannya sebagai surat Madaniyah. Surat ini terdiri dari 8 ayat, 29 kalimat, dan 103 huruf.
Adapun nama suratnya adalah As-Syarh, Al-Insyirah, atau Alam Nasyrah. Penaman itu karena ayat ini dimulai dengan kabar di dilapangkannya (As-Syarh) dada Nabi.
Imam Thawus dan Umar bin Abdul Aziz mengatakan, surat ad-Dhuha dan surat As-Syarh ini merupakan satu kesatuan surat. Berikut Riwayatnya sebagaimana ditulis Syekh Nawawi Banten dalam tafsirnya:
يروى عن طاوس وعمر بن عبد العزيز كانا يقولان: هذه السورة وسورة الضحى سورة واحدة، وكانا يقرءانهما في الركعة الواحدة وما كانا يفصلان بينهما ببسم الله الرحمن الرحيم
Artinya, ” Diriwayatkan dari Imam Thawus dan Umar bin Abdul Aziz, keduanya berkata bahwa surat As-Syarh ini dan surat ad-Dhuha merupakan satu surat. Mereka membaca kedua surat ini dalam satu rakaat shalat dan tidak memisahkannya dengan bacaan Basmalah“. (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Surabaya, al-Hidayah], juz II halaman 452).
Keutamaan Surat As-Syarh
Al-Baidhawi menuliskan keutamaan membaca surat As-Syarh sebagai berikut:
عن النبي صلّى الله عليه وسلم: من قرأ سورة ألم نشرح فكأنما جاءني وأنا مغتم ففرج عني
Artinya, “Dari Nabi saw: “Barangsiapa membaca surat Alam Nasyrah, maka seakan dia mendatangiku saat keadaanku sedang bersedih kemudian ia menyenangkanku”. (Nasiruddin as-Syairazi al-Baidhawi, Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, [Beirut, Darul Ihya’: 1418 H], juz VI, halaman 322).
Ragam Penafsiran Ayat
Syekh Jalaluddin al-Mahali mengatakan, istifham dalam ayat adalah istifham taqrir (membawa mukhatab atau orang yang diajak bicara untuk mengakui apa yang di katakan setelah nafi), sehingga maknanya adalah qad syarahna, sungguh telah kami lapangkan. Kemudian As-Shawi menjelaskan bahwa maksudnya adalah melapangkan dada Nabi saw dengan cahaya Ilahi supaya dapat bermunajat kepada Sang Pencipta dan dakwah atau mengajak makhluk, sehingga dadanya menjadi tempat turunnya rahmat dan sumber berkah.
Lebih lanjut As-Shawi menjelaskan hikmah penguanaan kata “laka” tidak dengan di ringkas “a lam nasyrah shadrak” saja, adalah pengingat bahwa kemanfaatan risalah kembali kepada diri Nabi Muhammad saw, tidak karena adanya tujuan dan alasan yang kembali kepada Allah.” (Ahmad bin Muhammad As-Shawi, Tafsir Jalalain dan Hasyiyah As-Shawi, [Surabaya, Darul Ilmi], juz, IV halaman 439).
Al-Qurtubi menjelaskan dalam tafsirnya, melapangkan dada (syarhus shadri) dengan membuka dada, maksudnya adalah: “Bukankah Kami telah membukakan dadamu untuk agama Islam?”
Selain itu al-Qurtubi juga menyebutkan dua riwayat; (1) Abu Shalih meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Bukankah kami telah melembutkan hatimu.” (2) Imam Ad- Dhahak meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Mereka bertanya: “Hai Rasulullah, apakahah Allah melapangkan dada”? Nabi saw menjawab: “Benar Allah melapangkan dada”. Mereka kembali bertanya: “Apakah tanda Allah telah melapangkan dada?” Kemudian beliau menjawab:
نَعَمُ التَّجَافِي عَنْ دَارِ الْغُرُورِ، وَالْإِنَابَةُ إِلَى دَارِ الْخُلُودِ، وَالِاعْتِدَادُ لِلْمَوْتِ، قَبْلَ نُزُولِ الْمَوْتِ
Artinya, “Tanda Allah melapangkan dadanya adalah bergesernya dari dunia yang menipu kepada kehidupan yang kekal, serta menyiapkan kematian sebelum kedatangannya”. (Syamsudin al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, [Mesir, Darul Kutub al-Misriyah: 1384 H/1964 M], juz XX, halaman 104).
Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam tafsirnya Menafsirkan “a lam nasyrah laka shadrak”. Artinya, “Sungguh kami telah lapangkan dadamu untuk menerima nubuwah, menanggung bebannya dan menghafalkan wahyu.”
Adapun maksud “syarhus sadri” atau melapangkan dada adalah mencerahkan dadanya dan menjadikannya luas, lapang dan lebar seperti firman Allah swt dalam surat Al-An‘ām ayat 125:
فَمَنْ يُّرِدِ اللّٰهُ اَنْ يَّهْدِيَهٗ يَشْرَحْ صَدْرَهٗ لِلْاِسْلَامِۚ
Artinya, “Maka, siapa yang Allah kehendaki mendapat hidayah, Dia akan melapangkan dadanya untuk menerima Islam”.
Kemudian Syekh Wahbah menyebutkan penafsiran Abu Hayyan “syarhus sadri” atau lapang dada adalah mencerahkan dadanya dengan hikmah, serta melapangkannya untuk menerima wahyu.” Menurut beliau, penafsiran semacam ini adalah pendapat mayaoritas mufasir. Adapun penafsiran yang pertama atau penafsiran versinya sendiri lebih umum karena masuk di dalamnya penafsiran Abu Hayyan ini dan penafsiran selainnya, yakni memikul derita mengajak kepada Allah, menanggung ketidaksenangan atas gangguan orang-orang kafir yang mennyakitkan. Beliau menyatakan, mayoritas mufasir mengatakan bahwa “as-Syarh” dalam ayat ini adalah “amrun maknawi” atau sesuatu yang abstrak. Wallahu a’lam. (Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, At-Tafsir Munir, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz XXX, halaman 294).
Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.