Jakarta, NU Online
Samsudin Jadab yang dikenal dengan sebutan Gus Samsudin sedang hangat diperbincangkan publik usai Padepokan Nur Dzat Sejati miliknya ditutup sementara atas desakan warga.
Padepokan yang berada di Rejowinangun, Kademangan, Blitar, Jawa Timur itu disinyalir menjadi praktik perdukunan dan penipuan dengan trik sulap. Aksinya tersebut pernah dibongkar Pesulap Merah, Marcel Radhival.
Peristiwa ini mengundang respon banyak pihak salah satunya dari pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamiliyyah Cibarusah Bekasi Jawa Barat, Farhan Sahlani Kamil. Menurutnya, kasus ini berdampak terutama dengan penyematan panggilan “Gus” yang dilabelkan kepada Samsudin.
“Dampak dari peristiwa ini pastinya kepercayaan masyarakat terhadap kalangan “gus” dan “kiai” akan berkurang atau tercoreng karena adanya oknum-oknum seperti ini,” ujar Gus Farhan kepada NU Online, Kamis (4/8/2022).
Lebih lanjut, pihaknya menyayangkan fenomena di masyarakat yang mudah mengultuskan seseorang berpenampilan islami menjadi tokoh agama. Dalam hal ini sebutan gus samsudin yang dilabelkan oleh masyarakat sebagai ahli spiritual.
“Sangat menyayangkan karena fenomena di masyarakat saat ini ketika ada seseorang yg berpakaian agamis, bisa melihat atau mengetahui hal ghaib ini dengan mudah langsung mendapatkan kepercayaan dari masyarakat,” ungkapnya.
Atas fenomena ini ia mengimbau agar masyarakat lebih berhati-hati dalam menanggapi orang yang dikultuskan menjadi tokoh agama.
“Saya kembalikan kepada masyarakat untuk menilainya yang jelas kita harus lebih hati-hati dan teliti jangan sampai terbuai oleh pakaian atau panggilan saja,” tutur pria yang pernah menempuh pendidikan di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Ia berharap masyarakat bisa mengambil pelajaran dari kasus Samsudin sehingga hal itu tidak terulang kembali.
“Mari masyarakat saling memaafkan dan saling mengawas (menata) diri agar kedepan nya lebih berhati-hati dalam memilih (mengkultuskan) panutan, tokoh masyarakat dan guru. Jangan kiai kan dukun,” ajaknya.
Meluruskan Istilah Gus
Pengurus Aswaja Center Kabupaten Bekasi itu kemudian meluruskan istilah kiai dan gus yang cenderung salah dipahami oleh masyarakat, kebanyakan. Termasuk oleh oknum tertentu dimanfaatkan dan disalahgunakan untuk mendapatkan keuntungan.
“Secara umum panggilan gus ditujukan untuk menghormati seorang putra Kiai. Tradisi ini datang dari keluarga pesantren Jawa Timur yang kemudian banyak diadopsi di daerah lain. Yang jelas, panggilan itu datang dari kontruksi sosial, tidak bikin-bikinan sendiri,” paparnya.
Namun saat ini, ungkap Farhan, sebutan gus mengalami pergeseran makna. Artinya penyematan ini bisa jadi diperuntukkan orang yang ‘alim, kiai muda yang baru merintisi pesantren, atau pendakwah yang berpegang pada ajaran Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja).
“Bagi saya, tidak masalah untuk melaqabkan Gus kepada orang yang betul-betul ‘alim dalam bidang agama, kiai muda yang sedang berjuang di bidang pendidikan pesantren, dan lain-lain selama ia masih memegang tradisi-tradisi ulama,” terang Ketua GP Ansor Kecamatan Cibarusah.
Namun demikian, ia menegaskan agar segala sesuatu harus diposisikan pada tempatnya. Utamanya yang menyangkut sebutan kiai atau gus. Sebagaimana dalam sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa jika sebuah perkara diberikan kepada bukan ahlinya, maka tinggal tunggu saja kehancurannya.
“Bahwa segala urusan harus diserahkan kepada ahlinya. Termasuk soal kesehatan, sudah ada ada dokter yang ahli di bidang kesehatan,” jelas Gus Farhan.
Kontributor: Suci Amaliyah
Editor: Fathoni Ahmad
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.