Spirit Haji (2)

Ketiga, ‘Arafah. ‘Arafah merupakan tanah suci yang berada di luar kota Makkah sebagai tempat wukuf jemaah haji. Wukuf di ‘Arafah dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijah sesaat setelah tergelincirnya matahari (waktu dzuhur) hingga terbenamnya matahari. 

Menurut ijma ulama, wukuf di ‘Arafah merupakan puncaknya ibadah haji. Hal ini berdasarkan pada hadis “Haji itu, (kehadiran) di ‘Arafah. Barangsiapa datang pada malam jam’in (malam mabit di Muzdalifah), sebelum fajar menyingsing, maka ia telah mendapat haji.” (HR. Ahmad). Jemaah yang sedang melakukan wukuf dianjurkan untuk memperbanyak ibadah seperti zikir, doa, tilawah al-Qur’an, istigfar, tahlil, dan lain sebagainya. 

Senyatanya, wukuf di ‘Arafah mengisyaratkan kepada kita akan keberadaan padang mahsyar sebagai tempat berkumpulnya manusia di akhirat nanti.  Pada hakikatnya, berwukuf di ‘Arafah juga merupakan pengejawantahan dari diri manusia yang begitu amat tergantung pada kemurahan dan kebesaran Allah SWT. 

Wukuf di ‘Arafah juga sebagai pengejawantahan dari diri manusia yang begitu hina dan lemah dihadapan Allah SWT. Pakaian serba putih (ihram) yang dipakai oleh jemaah haji merupakan simbol pengikis kesombongan yang ada pada setiap diri manusia di hadapan Sang Penciptanya.

Keempat, Mabit (bermalam) di Muzdalifah. Meskipun bukan rukun haji dan hanya menjadi wajib haji, bermalam di Muzdalifah merupakan kegiatan yang mesti dilakukan jemaah haji karena merupakan bagian sunah Nabi SAW dan sebagai bentuk ketaatan jemaah haji terhadap perintah Allah SWT sebagaimana disebutkan dalam QS al-Baqarah ayat 198:

“…Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafah, maka berzikirlah kepada Allah di Masy’arilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu. Dan sesungguhnya kamu sebelum itu, benar-benar termasuk orang-orang yang tidak tahu.” (QS al-Baqarah [2]: 198). 

Hikmah dan maksud bermalam di Muzdalifah adalah untuk mengambil batu-batu kecil (kerikil) yang akan digunakan untuk melontar Jumrah Aqabah (besar) di hari Nahar pada tanggal 10 Dzulhijah dan lontaran Jumrah yang lainnya 

Kelima, melontar Jumrah. Melontar Jumrah merupakan salahsatu kewajiban haji. Melontar Jumrah Aqabah dilakukan pada hari haji (dari Nahar) 10 Dzulhijah. Sedangkan pada hari-hari Tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijah) jemaah haji akan melakukan lontar jumrah sebanyak 3 kali, yaitu Jumrah Ula (pertama), Jumrah Wustha (kedua), dan Jumrah Aqabah (besar). 

Bagi jemaah haji diperbolehkan untuk melakukan Nafar Awal, yakni segera meninggalkan Mina setelah hanya melontar Jumrah pada hari pertama dan kedua di hari tasyrik (11 dan 12 Dzulhijah). Sementara bagi jemaah haji yang masih berada di Mina hingga pada tanggal 13 Dzulhijah, berarti masuk kategori Nafar Tsani, yakni tetap tinggal di Mina hingga tanggal 13 Dzulhijah dan meninggalkannya setelah menyelesaikan tiga lontar jumrah yang terakhir.
Dengan demikian, jika jemaah haji mengambil Nafar Tsani, maka jumlah keseluruhan lontar jumrah adalah sebanyak 70 kali lemparan, yakni 7 kali pada saat hari Nahar (10 Dzulhijah) di Jumrah Aqabah ditambah 63 kali  pada hari Tasyrik (11,12,13 Dzulhijah) dengan masing-masing melontar 7 kali baik pada Jumrah Ula, Wustha, maupun Aqabah. Sementara jika jemaah haji mengambil Nafar Awal, maka hanya akan melontar jumrah sebanyak 49 kali, yakni 7 kali pada saat Jumrah Aqabah di hari Nahar, dan 42 kali di hari Tasyrik (11, 12 Dzulhijah) dengan rincian masing-masing 7 kali baik pada Jumrah Ula, Wustha, maupun Aqabah.

Menurut Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, melontar Jumrah itu harus diniatkan semata-mata sebagai bentuk ketaatan dalam menjalankan perintah Allah SWT, dan jangan dilakukan karena berdasarkan keinginan akal dan nafsu semata. Melontar Jumrah menurut Imam al-Ghazali juga merupakan sebagai manifestasi dari apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS saat ia diganggu oleh setan ketika hendak melaksanakan perintah Allah SWT dalam penyembelihan Ismail AS. 

Lemparan batu yang dilakukan oleh jemaah haji ke Jumrah pada hakikatnya adalah melempar wajah setan. Karena senyatanya, untuk mengalahkan setan memang harus dilakukan dengan cara melaksanakan perintah Allah SWT. 

Keenam, Thawaf. Thawaf merupakan kegiatan mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali putaran berbalikan arah jarum jam. Thawaf harus diawali dan diakhiri dari Hajar Aswad. Orang yang akan melaksanakan Thawaf disyariatkan harus suci dari hadas kecil maupun hadas besar, menutup aurat, dilarang bercakap-cakap seperti halnya dalam pelaksanaan shalat. 

Ketujuh, Ihram. Ihram adalah niat mengerjakan ibadah haji atau umrah dengan mengenakan pakaian ihram (putih tanpa berjahit bagi laki-laki) dengan menghindari hal-hal yang dilarang selama berihram.  Larangan berihram untuk laki-laki: memakai pakaian biasa dan penutup kepala, memakai cadar dan penutup kedua belah telapak tangan (bagi perempuan), memakai wangi-wangian, memotong kuku atau mencukur rambut, memburu/membunuh binatang, menikah atau menikahkan, bercumbu atau bersenggama, dan bertengkar atau berkata ucapan-ucapan kotor.

Kedelapan, Tahallul. Tahallul adalah keadaan seorang jemaah haji/umrah ketika sudah halal (terbebas) dari larangan berihram. Tahalul biasanya dilakukan setelah para jemaah haji/umrah telah menyelesaikan amalan-amalan manasik haji maupun umrahnya. Pelaksanaan Tahallul ditandai dengan mencukur atau memotong rambut secukupnya. 

Bertahallul berarti membersihkan diri dari semua hal yang tidak bersih menjadi bersih dan sebagai perlambang kesucian dari apa yang telah dipelihara jemaah haji selama mengenakan pakaian ihramnya. (Bersambung)

Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut

https://jabar.nu.or.id/opini/spirit-haji-2-0NXHr

Author: Zant