Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat ad-Dhuha ayat 11:
وَاَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Wa ammā bini’mati rabbika fa ḥaddiṡ
Artinya, “Terhadap nikmat Tuhanmu, nyatakanlah (dengan bersyukur)”.
Ragam Tafsir Surat Ad-Dhuha Ayat 11
Sekilas ayat 11 surat Ad-Dhuha merupakan perintah untuk menampakkan nikmat kepada orang lain sebagai bentuk syukur terhadap Allah. Sebenarnya bagaimana penjelasan ayat tersebut? berikut beberapa poin pembahasan yang disampaikan oleh para ulama.
Pertama, makna “ni’mah” atau kenikmatan dalam ayat. Syekh Nawawi Banten dalam tafsirnya Marahul Labid menyebutkan perkataan Imam Mujahid, bahwa makna frase “ni’mah” dalam ayat adalah al-Qur’an, sedangkan makna mengabarkannya ialah dengan membacanya. Diriwayatkannya juga bahwa “ni’mah” yang dimaksud ialah kenabian, yang berarti: “Sampaikan (Muhammad) apa yang telah Tuhanmu turunkan kepadamu.” (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsîrul Munîr li Ma’âlimit Tanzîl, [Surabaya, al-Hidayah], juz II, halaman 454).
Ibnu Asyur menjelaskan “ni’mah” yang dimaksud dalam ayat bukanlah nikmat khusus, melainkan jenis nikmat, sehingga memberikan faidah umum sebagaimana ungkapan berikut:
حَدِّثْ مَا أَنْعَمَ اللَّهُ بِهِ عَلَيْكَ مِنَ النِّعَم
Artinya, “Ceritakanlah (Muhammad) nikmat apa saja yang Allah berikan kepadamu.”
Dengan demikian perintah bersyukur itu dalam ayat maksudnya adalah bersyukur atas seluruh nikmat, bukan hanya nikmat tertentu atau nikmat khusus saja. (Muhammad at-Thahir Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, [Tunis, Dar-At-Tunisia: 1984 M], juz XXX, halaman 403).
Kedua, Makna “fa ḥaddiṡ” dan khitabnya. Ibnu Asyur mengatakan bahwa kata “fa ḥaddiṡ” dalam ayat merupakan sighat amar atau kata perintah, dimana pada dasarnya amar menunjukkan suatu kewajiban. Dengan demikian, Nabi saw yang menjadi sasaran khitab dalam ayat ini wajib menjalankan apa yang menjadi perintah Allah sama juga seperti umatnya dalam hal wajib, selama tidak ada petunjuk yang mengkhususkan perintah itu untuk Nabi saw saja. (Muhammad at-Thahir Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, jus XXX halaman 403).
Al-Qurtubi dalam tafsirnya menjelaskan khitab dalam ayat tersebut sebagai berikut:
وَالْخِطَابُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالْحُكْمُ عَامٌّ لَهُ وَلِغَيْرِهِ
Artinya, “Khitabnya untuk Nabi saw, adapun hukumnya berlaku umum, untuk Nabi saw juga selainaya (umatnya)”. (Syamsudin al-Qurtubi, Tafsir al-Qurtubi, [Mesir, Darul Kutub al-Misriyah: 1384 H/1964 M], juz XX, halaman 102).
Ketiga, tentang kewajiban menceritakan nikmat kepada orang lain. Dengan penjelasan di atas tidak bisa disimpulkan bahwa hukumnya wajib menceritakan segala nikmat yang telah Allah berikan sebagai rasa syukur kepada-Nya. Ibnu Asyur dalam tafsirnya menjelaskan, kewajiban menceritkan nikmat sebagai bentuk syukur atas nikmat yang diberikan merupakan kewajiban bagi nabi, karena nabi adalah sosok yang maksum atau terjaga dari sifat riya’, dan tidak akan ada orang yang menduga seperti itu kepada Nabi saw. Dengan demikian, kewajiban menceritakan nikmat bagi nabi adalah kewajiban.
Adapun bagi umatnya, terkadang dengan menceritakan nikmat kepada orang lain justru merupakan menjadi riya’ dan kesombongan. Terkadang menceritakan nikmat dapat mencabik-cabik perasaan orang lain yang tidak mendapatkan nikmat yang sama. Nah, di sinilah orang perlu meninjau kembali, antara lebih baik menceritakan nikmat atau tidak menceritakannya.
Penyelesainnya ialah dengan cara jam’u atau mengkompromikannya jika memungkinkan; atau mengunggulkan salah satunya jika tidak memungkinkan. Semisal hanya menceritakan nikmat kepada orang-orang yang dapat dipercaya; atau hanya kepada orang terdekat (semisal saudara) sebagaimana riwayat dari Imam Hasan bin Imam Ali ra:
إِذَا أَصَبْتَ خَيْرًا أَوْ عَمِلْتَ خَيْرًا فَحَدِّثْ بِهِ الثِّقَةَ مِنْ إِخْوَانِكَ
Artinya, “Jika engkau memperoleh atau melakukan kebaikan, maka ceritakanlah itu kepada saudaramu orang yang dapat dipercaya “. (Muhammad at-Thahir Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, juz XXX, halaman 403-405).
Imam Fakhruddin ar-Razi berkata dalam tafsirnya, Tafsir Kabir:
إِلَّا أَنَّ هَذَا إِنَّمَا يَحْسُنُ إِذَا لَمْ يَتَضَمَّنْ رِيَاءً وَظَنَّ أَنَّ غَيْرَهُ يَقْتَدِي بِهِ
Artinya, “Hal ini (menceritakan kenikmatan semisal ibadah tertentu) hanya bagus jika tidak memuat riya’, serta adanya praduga bahwa orang lain akan mengikutinya”. (Fahruddin Ar-Razi, Tafsir Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Ihya’: 1420 H], juz XXXI, halaman 201).
Walhasil, dapat ditarik kesimpulan bahwa ayat tersebut tidak serta merta mewajibkan manusia untuk mengabarkan atau menampakkan segala nikmat kepada orang lain. Bisa jadi sekilas orang menceritakan kenikmatan kepada orang lain dengan maksud mensyukuri nikmat, namun justru dosa yang diperbuat karena riya’, berbangga diri dan sombong; atau bahkan menyebabkan perasaan orang lain menderita sebab tidak mendapati nikmat yang sama. Karena itu ketika kita bermaksud menceritakan suatu kenikmatan, sudah semestinya dipertimbangkan dulu, yang terbaik apakah menceritakan atau menyimpannya. Bukankah kita bukan nabi yang maksum terjaga dari salah dan dosa? Wallahu a’lam.
Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma’had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.