Dalam sejarah peradaban Islam, tidak ditemukan pengadilan atas ilmuwan akibat temuannya dalam perkara alam. Ini menunjukkan peradaban Islam terbuka terhadap temuan hasil observasi tanpa mengonfrontasikannya dengan teks kitab suci. Ini juga menunjukkan bahwa ulama sebagai otoritas agama, tidak melampaui batas dengan memasukkan perkara alam dalam ranah doktrin agama. Karenanya, pandangan seputarnya bisa berbeda tanpa perlu otoritas ulama memiliki kata putus dalam hal itu. Bahkan ketika ada ayat Al-Qur’an atau hadits yang berbicara tentang bumi, matahari, dan bulan.
Terkait perkara bentuk bumi, yang secara speifik tidak tersebut dalam Al-Qur’an, pendapat ulama tidak menjadi kata putus dalam kontroversi tesebut. Ulama mendudukkannya sebagai materi ijtihad yang kebenarannya tidak mutlak. Artinya bahwa ulama menganut relativisme dalam banyak perkara fenomena alam.
Metode rasional empiris (‘aqliyyah tajribiyyah) yang berlaku di sains diafirmasi oleh banyak ayat Al-Qur’an yang mengajak untuk tadabur (merenung). Al-Qur’an banyak menyebut diksi yang terkandung arti rasionalisme dan empirisme. Seperti menyebut derivasi ‘aqala (mengerti) terdapat 49 ayat; tafakkara (berpikir): 17 ayat, tadabbara (menghayati): 2 ayat. Hal Ini berpengaruh positif terhadap penerimaan ulama atas paradigma sains yang tidak bertitik tolak dari pesan kitab suci.
Rasulullah dalam urusan duniawi memasrahkannya pada ahlinya, sebagaimana diceritakan dalam hadits sahih Muslim riwayat Anas bin Malik: Rasulullah berjalan melewati kaum yang sedang mengawinkan kurma. Terjadi dialog di situ dan mereka menerangkan begini dan begitu hingga nabi mengakhiri dengan ucapan: “kamu lebih tahu urusan duniamu”. Dalam sharah Muslim, Imam Nawawi menjelaskan dalam bab yang harus diikuti dari Rasulullah dalam perkara syariat bukan pada perkara duniawi yang berdasarkan pendapat beliau (bab wujub imtithal ma qalahu shar’an duna ma dzakarahu SAW).
Hadits ini secara harfiah menunjukkan adanya ranah agama dan ranah umum. Oleh kelompok tertentu ia dimaknai dukungan terhadap pemisahan urusan duniawi dari intervensi agama atau yang disebut dengan sekularisme. Hadits ini juga bisa dimaknai sebagai pengakuan adanya dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Atau bisa dimaknai dukungan Islam terhadap spesialisasi, setiap objek kajian menuntut pembidangan ilmu yang masing-masing memiliki cara kerja sendiri.
Islam mengakui keahlian mereka yang berkecimpung di bidangnya masing-masing. Bahkan dalam hadits tersebut tampak mereka tidak menerima pendapat Rasulullah dan Rasulullah tidak masalah bahkan berkata: “Engkau lebih tahu tentang urusan duniamu”. Nabi juga tidak menyebut ayat Al-Qur’an terkait kurma, seperti dalam kisah Maryam QS. 19:23: “Kemudian rasa sakit akan melahirkan memaksanya (bersandar) pada pangkal pohon kurma. Dia (Maryam) berkata, ‘Wahai, betapa (baiknya) aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan’.”; 19:25: “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” Bisa jadi saat kejadian itu, ayat terkait belum turun, tapi yang pasti nabi memasrahkan urusan kurma kepada mereka karena mereka lebih tahu.
Dalam Sahih al–Bukhari terdapat hadits: “Jika perkara diserahkan kepada yang tidak ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya”. Ini juga mendukung spesialisasi keilmuan dan dukungan agama terhadap otoritas ilmuwan di bidangnya. Inilah mengapa antara ulama dan ilmuwan tidak terjadi perseteruan, karena sudah ada ajaran tentang spesialisasi dan pembagian otoritas dalam Islam. Sejarah kelam abad pertengahan Eropa adalah karena gereja memasukkan perkara alam seperti pusat galaksi dan bentuk bumi ke dalam otoritasnya. Padahal ia bukan terkait dogma agama yang di bawah otoritasnya.
Integrasi Keilmuan
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) mendapat mandat integrasi ilmu agama dan umum sebagai distingsi atau penciri yang membedakan dari perguruan tinggi lainnya. Sedari awal dikumandangkan, 2002, semenjak IAIN Syarif Hidayatullah berubah menjadi UIN, implementasi mandat tidak maksimal dan terus digodok tanpa kunjung matang. Dikhawatirkan, semakin digodok semakin kehilangan rasa yang sebenarnya. Seperti permen karet yang lama dikunyah semakin menyepah dan hambar.
Bisa jadi hal ini karena pembahasan banyak pada wilayah epistemologi atau cara kerja ilmu. Padahal, masing-masing cabang ilmu memiliki cara kerja yang konsisten yang berbeda satu sama lain. Integrasi keilmuan berpotensi mengurangi konsistensi ini dengan sisipan materi agama ke dalam mata kuliah umum. Jadilah kajian menjadi kurang fokus di samping secara paradigma menjadi kurang konsisten. Ilmu umum yang semula berbasis fakta indrawi menjadi plus perspektif kitab suci. Sebuah tambahan yang mengurangi kecepatan penguasaan dan laju ilmu itu sendiri. Alih-alih membuat distingsi, ia malah menghambat upaya mengejar ketertinggalan dari kampus umum yang sudah mapan.
Untuk itu distingsi cukup pada aspek aksiologi. Yaitu aspek nilai manfaat dan kegunaan ilmu. Di sini pesan moral agama dimasukkan. Nilai universal kemanusiaan yang berlaku secara global di kampus umum, khusus untuk PTKIN, mahasiswanya diharap mampu memberikan yang lebih dengan menyebutkan dalil Al-Qur’an dan/atau hadits. Sebagai materi aksiologi, ia tidak untuk menilai apa yang berlaku dalam disiplin ilmu yang ada, seperti dengan mengatakan bahwa itu adalah versi umum/Barat/sekuler sedangkan menurut Islam begini. Tidak. Namun untuk memberikan pesan manfaat dan motivasi serta menambah keimanan melalui observasi faktual. Ide islamisasi ilmu pengetahuan ada dalam ranah epistemologi yang rawan simplifikasi dan klaim. Ia tidak sejalan dengan pengakuan Islam atas otoritas ilmuwan di bidangnya masing-masing dan menghambat temuan berbasis observasi yang pesannya keras berbunyi dalam Al-Qur’an.
Achmad Murtafi Haris, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://www.nu.or.id/opini/tantangan-integrasi-keilmuan-2-problem-epistemologi-r3AQB