Sebagian masyarakat di Indonesia masih memercayai dunia perdukunan. Alih-alih berobat ke dokter, mereka justru konsultasi kepada orang yang dianggap sakti dan bisa menyembuhkan penyakit dengan cara-cara mistis. Tidak saja untuk berobat, bagi mereka dukun adalah tempat mengadu segala persoalan hidup dari mulai masalah ekonomi, perjodohan, karier, dan lain sebagainya.
Praktik perdukunan sendiri sudah dikenal sejak pra Islam. Dalam bahasa dukun Arab diistilahkan dengan kahânah yang diartikan menginformasikan hal-hal yang tidak bisa diketahui manusia pada umumnya (gaib). Orang yang melakukan praktik perdukunan dinamakan kâhin.
Imam an-Nawawi membedakan istilah kâhin dengan ‘arrâf kendati kita sama-sama haram untuk mempercayainya. Menurut an-Nawawi, kâhin adalah orang yang dianggap sakti karena mampu mengetahui peristiwa yang akan terjadi dan mengaku bisa mengetahui hal-hal yang tidak bisa diketahui orang pada umumnya. Seorang dukun biasanya mengklaim bisa memperbantukan jin (khadam) untuk melancarkan aksinya.
Sementara ‘arrâf adalah orang yang dianggap sakti karena mengklaim dirinya bisa mengetahui keberadaan barang yang dicuri, sesuatu yang hilang dan hal-hal semacamnya. (An-Nawawi, Syarah Muslim, juz X, halaman 232).
Kategori Dukun
Lebih detail, al-Qadhi ‘Iyadh membagi dukun (kâhin) menjadi tiga jenis. Pertama, orang yang mengaku sakti karena memiliki pembantu (khadam) berupa jin yang bertugas mencuri dengar perbincangan malaikat tentang perkara gaib semisal suratan takdir manusia. Jenis pertama ini sudah tidak ada sejak Nabi Muhammad diutus.
Kedua, orang yang mengaku sakti sebab bisa menginformasikan hal-hal yang tidak bisa dijangkau manusia normal seperti keberadaan barang yang hilang karena dicuri. Model yang kedua ini bisa benar dan juga berbohong, tapi kita dilarang untuk mempercayainya. Dukun seperti ini masih banyak ditemukan.
Ketiga, ahli nujum, jenis dukun ini masih bisa dipercayai tapi banyaknya berdusta. Termasuk jenis yang ketiga ini adalah ‘arrâf. (Syekh Ali bin Ali al-Ghazi asy-Syafi’i, Al-Kawakibur Durriyyah Bisyarhil Jajwahiril Barzanjiyah fi Maulidi Khairil Bariyyah, 2020: 67)
Hukum Mempercayai Dukun
Setelah merinci pembagian dukun di atas, al-Qadhi ‘Iyadh menegaskan, “Semua jenis dukun tersebut bertentangan dengan syari’at dan kita haram untuk mempercayainya.” Dalam beberapa kesempatan Nabi Muhammad saw juga menyampaikan larangan mempercayai dukun. Salah satunya adalah adalah sabda beliau:
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
Artinya, “Barangsiapa yang mendatangi seorang peramal dan bertanya kepadanya tentang suatu perkara, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari.” (HR Muslim)
Maksud hadits ini adalah orang yang berkonsultasi kepada seorang dukun tidak akan mendapatkan pahala shalatnya selama 40 hari. Status shalatnya tetap sah sehingga tidak ada kewajiban mengqadha. Seperti orang yang shalat di tempat hasil ghashab, shalatnya sah tapi tidak mendapat pahala ibadahnya. (Imam an-Nawawi, Syarah Muslim, 2017: juz, XIII, h. 190)
Dalam hadits lain, Nabi saw menyampaikan, orang yang berkonsultasi ke dukun atau peramal kemudian mempercayai ucapannya, maka ia telah dianggap kafir. Rasulullah bersabda:
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
Artinya, “Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal dan dia membenarkan ucapannya, maka dia berarti telah kufur pada Al-Quran yang telah diturunkan pada Muhammad.” (HR Ahmad)
Berangkat dari hadits di atas, Syekh Abdurrauf al-Munawi mengatakan, jika seseorang meyakini seorang dukun mampu mengatahui hal-hal gaib tanpa perantara apapun maka orang tersebut dianggap kafir. Akan tetapi jika ia meyakini pengetahuan dukun tentang perkara gaib tersebut melalui perantara jin yang telah mencuri dengar dari malaikat maka tidak sampai kafir. (Abdurrauf al-Munawi, Faidhul Qadir, [1972], juz, VI, halaman 23).
Hanya, jenis dukun yang bisa memperbantukan jin untuk mencuri dengan informasi dari malaikat sudah tidak ada sejak diutusnya Nabi Muhammad saw seperti keterangan di atas.
Pengatahuan Hal Gaib
Pada prinsipnya tidak ada yang bisa mengetahui hal-hal gaib kecuali Allah swt. Sebab itu, jika ada orang mengaku sakti dan bisa mengatahui hal-hal gaib maka perlu dipertanyakan. Kendati demikian, Allah juga telah memberi kemampuan kepada orang-orang khusus untuk mengetahui sebagian perkara gaib seperti para nabi melalui wahyu atau orang-orang saleh melalui ilham. Dalam Al-Qur’an disebutkan:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداًلَّا مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً
Artinya, “(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang gaib itu kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya. Maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al-Jin: 26-27)
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan, ayat ini menegaskan bahwa hanya Allah swt yang bisa mengetahui hal-hal gaib kecuali orang-orang yang Dia kehendaki seperti para nabi melalui wahyu atau orang-orang saleh melalui ilham. (Ath-Thabari, Jami’ul Bayan, [2013], juz XII, halaman 275).
Simpulannya, sebagai Muslim kita haram mempercayai dukun, karena hanya Allah yang bisa mengetahui hal-hal gaib. Jika pun ada orang yang mengaku bisa mengetahui hal gaib, maka perlu dicermati terlebih dahulu kepribadiannya, apakah dia orang saleh atau orang biasa yang punya kepentingan tertentu. Penting juga dicatat, tidak semua orang saleh juga bisa mendapatkan ilham. Walllahu a’lam.
Muhamad Abror, Penulis keislaman NU Online, Alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma’had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://islam.nu.or.id/syariah/dukun-menurut-islam-definisi-dan-bahaya-mempercayainya-RlQ9I