Nyai Nur Rofiah Ungkap Kisah Dahsyat Spiritualitas Perempuan dalam Idul Adha

Jakarta, NU Online
Dosen Pascasarjana Institut Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (IPTIQ) Jakarta, Hj Nur Rofiah, memiliki pandangan tersendiri pada momen Idul Adha ini . Ia mencoba mengulik kisah dahsyat spiritualitas perempuan terkait hari besar umat Islam ini.

Nyai Rofiah mengatakan bahwa sejarah dalam perayaan hari-hari besar Islam perlu dilihat dengan ‘kacamata baru’ agar horizon pemahaman kita terhadap sejarah lebih lengkap dan utuh.

“Saat punya kacamata baru, mungkin kita antusias melihat pemandangan lama akan seperti apa terlihat. Begitupun saat menemukan kacamata keadilan hakiki perempuan. Rasanya antusias melirik kembali keyakinan, pemahaman, dan narasi keislaman yang sudah lama ada dengan kacamata baru ini. Salah satunya narasi sejarah dalam perayaan hari-hari besar Islam,” tuturnya kepada NU Online, Sabtu (9/7/2022).

Doktor jebolan Universitas Ankara Turki ini mengatakan, sejak 2019 dirinya menginisiasi kegiatan yang dinamai Lingkar Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI). Ini adalah platform ngaji offline dan online yang fokus pada isu-isu keperempuanan dan gender yang dibidik lewat Lensa Keadilan Hakiki Perempuan.

Lensa ini adalah cara pandang yang mengintegrasikan pengalaman biologis dan sosial khas perempuan dalam konsep keadilan. Pertama, tidak boleh membuat pengalaman biologis khas perempuan seperti menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui makin sakit.

Kedua, tidak menyebabkan pengalaman sosial khas perempuan yakni diperlakukan tidak adil hanya karena menjadi perempuan, terjadi. Misalnya stigmatisasi, marginalisasi, subordinasi, kekerasan dan beban ganda.

Hari-hari besar agama, kata Nyai Rofiah, sedang menjadi topik yang mulai dikaji ulang dengan kacamata baru ini. Ramadhan lalu misalnya mengkaji Nuzulul Qur’an Perspektif Perempuan.

“Kali ini kami hendak mengangkat Idul Adha Perspektif Perempuan. Seperti apa gambaran perempuan dalam sejarah yang diabadikan Qur’an ini. Bagaimana pula narasi yang sering muncul dalam perayaannya, apakah perempuan sama pentingnya dalam peristiwa dan narasi tentangnya. Begitu di antara deret pertanyaan yang mengemuka,” tuturnya.

Menurut Nyai Rofiah, sosok Sayyidah Hajar cukup dikenal walau kadang masih lamat-lamat. Padahal ia sesungguhnya adalah perempuan yang menjalankan peran utama dalam sejarah kurban ini.

“Beliau tidak hanya perempuan, tetapi juga budak dan berkulit hitam. Sosok beliau mewakili kelompok sosial yang rentan mengalami diskriminasi berlapis,” ungkap alumnus Pesantren Khoiriyah Hasyim Seblak Jombang ini.

Ujian berat
Pengamat isu-isu perempuan ini kemudian melempar pertanyaan, adakah ujian yang lebih berat sebagai seorang ibu yang membesarkan anak seorang diri di tengah padang pasir yang tandus?.

“Tangisan bayi Ismail yang kehausan membuatnya berlari kesana kemari mencari air sebagai sumber kehidupan. Ini adalah lakon yang kemudian diabadikan dalam Sa’i, yaitu berlari-lari kecil dari bukit Shafa ke bukit Marwa yang wajib dalam menjalankan ibadah Haji,” ujar Nyai Rofiah.

“Hentakan kaki sang bayi, Ismail as, yang menangis kehausan kemudian menjadi jalan terbukanya mata air Zamzam yang hingga kini terus mengalir. Sumur air ini berada di tempat yang ayat-ayat Allah nyaris tak terputus dilantunkan. Airnya pun telah diteguk oleh jamaah haji dari seluruh penjuru dunia,” sambungnya.

Ketika Nabi Ibrahim datang, justru membawa ujian yang tak terkira beratnya bagi Sayyidah Hajar. Yakni, putra semata wayang yang diasuhnya seorang diri karena ‘LDR’ dengan sang suami mesti direlakan demi qurban (mendekatkan diri) kepada Allah swt.

“Kesulitan hidup berdua bayi, tidak membuatnya menjauh dari Allah, namun sebaliknya menguatkan. Mungkin sebagai perempuan, dari ras budak berkulit hitam pula, membuatnya tidak punya pilihan untuk menolaknya,” tutur Nyai Rofiah.

Namun, lanjut dia, perjuangan hidup Sayyidah Hajar yang diabadikan dalam Sa’i mengisyaratkan keteguhan hatinya dalam memilih secara bebas untuk tunduk luruh pada perintah Allah Swt bersama suami dan putranya.

Ia menambahkan, Arab Saudi hingga kini merupakan padang pasir tandus yang lebih diperhitungkan dunia karena ladang minyaknya sekaligus ladang petro dolar yang fantastis. “Meski demikian, manusia bisa bertahan hidup tanpa minyak. Tapi, bisakah kita bertahan hidup tanpa air. Apalagi di padang pasir yang tandus,” ujarnya diplomatis.

Nyai Rofiah sering bergetar hatinya membayangkan spiritualitas tinggi perempuan yang jalan hidupnya diabadikan dalam rangkaian ibadah haji ini. Ia kemudian mengajak umat Islam untuk merefleksikan bersama pelajaran dahsyat yang bisa dipetik dari perayaan Idul Adha.

Pelajaran berharga
Penggantian Ismail as dengan domba, kata dia, memberi pelajaran berharga. Allah bukanlah Tuhan yang memerlukan persembahan berupa manusia seperti tuhan yang diyakini suku-suku lain. Ingin mendekat pada Allah, berbuat baiklah pada sesama hamba-Nya. Terutama mereka yang memerlukan daging untuk makan.

Pelajaran penting lainnya adalah bagaimana ayah, ibu, dan anak menjadi tim solid untuk hanya tunduk mutlak kepada Allah dengan hanya tunduk pada kemaslahatan bersama. Cinta kita pada apapun dan siapa pun tidak semestinya mengalahkan cinta pada Allah. Dan cinta kepada Allah mesti dibuktikan dengan cinta pada kemanusiaan.

Nyai Rofiah mengajak umat Islam untuk merenungkan siapakah ‘Ismail’ kita hari ini: Harta, jabatan, popularitas, libido seks, anak, orang tua, suami, istri, atau yang lain.

“Siapa pun, termasuk perempuan yang memiliki kerentanan berlapis, sangat mungkin mencapai spiritualitas yang tinggi selagi menjaga hubungan baik dengan Allah yang melahirkan hubungan baik dengan sesama manusia, bahkan sesama makhluk,” pungkasnya.

Pewarta: Musthofa Asrori
Editor: Muhammad Faizin

Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.

https://www.nu.or.id/nasional/nyai-nur-rofiah-ungkap-kisah-dahsyat-spiritualitas-perempuan-dalam-idul-adha-zdD9k

Author: Zant