Puasa, Pengendalian Diri dan Kesehatan Mental

Foto: Dr. KH. A. Rofiq Mahfudz, M.Si
Foto: Dr. KH. A. Rofiq Mahfudz, M.Si

Iklan

Oleh: Dr. KH. A. Rofiq Mahfudz, M.Si
(Wakil Sekretaris PWNU Jawa Tengah, Pengasuh Pondok Pesantren Ar-Rois Cendekia Semarang)

Puasa, Pengendalian Diri dan Kesehatan Mental-Puasa (shiyam) memiliki makna menahan diri (abstaining). Islam mendefinisikan puasa sebagai media penghambaan dengan menahan diri untuk tidak makan, minum dan berhubungan seksual sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.

Definisi di atas masuk dalam kategori puasa lahiriyah atau Imam Al-Ghazali menggolongkan definisi ini sebagai puasanya orang awam. Puasa secara batiniyah adalah menahan diri dari hawa nafsu, pikiran negatif, drengki, provokasi, perbuatan dan perkataan yang kurang baik dan hal negatif lainnya.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa puasa adalah ritual ibadah yang menuntun seorang muslim untuk berbuat baik dan mengendalikan nafsunya termasuk pengendalian diri dari amarah. Oleh sebab itu, Indonesia yang mayoritas menganut Islam harusnya dapat membentuk karakter keamanan, tenang dan damai selama bulan puasa berlangsung.

Dalam Islam, puasa selalu menjadi alternatif untuk meredam nafsu yang negatif, karena pada hakikatnya puasa adalah pengendalian diri (self control)dan seorang muslim yang berpuasa dinilai dapat mengendalikan diri dan menguasai dirinya terhadap dorongan yang datang dari luar maupun dari dalam dirinya, sehingga perilaku seperti ini berdampak pada kesehatan jiwa dan raga bagi yang menjalankannya.

Hubungan puasa dengan kondisi pengendalian diri termasuk amarah dapat dipahami dari beberapa faktor. Pertama, adalah keadaan tubuh seseorang. Seorang muslim yang kondisi tubuhnya kurang baik ia akan kesulitan dalam mengontrol dirinya sehingga mudah mengeluarkan kemarahan. Kedua, adalah kondisi pikiran atau konsep kognisi terhadap suatu stimulus dapat menentukan respon yang akan kita berikan. Apabila stimulus yang kita terima adalah buruk maka akan mudah terbawa ke arah kemarahan. Ketiga, adalah budaya, respons terhadap kemarahan akan menunjukan kepada kemarahan selanjutnya.

Dengan demikian, puasa memiliki peran penting karena puasa adalah sarana atau jalan yang paling efektif untuk merenovasi jiwa-jiwa yang sudah kering dari kekuatan spiritualitas. Dengan berpuasa kita dapat mensucikan diri dan jiwa dari lumuran dosa-dosa yang telah diperbuat dahulu kala.

Puasa dapat mengangkat seorang muslim yang telah berkubang dalam kemaksiatan menuju fitrahnya sebagai manusia. Di samping hukum diwajibkannya puasa Ramadhan dalam syariah, puasa juga dimaknai sebagai latihan agar mampu mengendalikan diri, menyesuaikan diri, serta memiliki kesabaran terhadap dorongan-dorongan atau impuls-impuls agresivitas yang datang dari dalam diri maupun dari luar diri. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa setiap manusia memiliki naluri berupa dorongan agresivitas yang bentuknya beraneka ragam.

Salah satu jalan atau solusi untuk keluar dari gangguan mental (termasuk amarah) tersebut adalah kemampuan seseorang dalam pengendalian dirinya. Pengendalian diri (self control) sangat penting bagi kesehatan jiwa sehingga daya tahan mental dalam menghadapi berbagai stress kehidupan dapat diperbaiki. Sementara pengendalian diri tersebut bisa dilakukan dengan berpuasa, karena dengan menahan lapar dan dahaga kita bisa berlatih kemampuan menyesuaikan diri terhadap tekanan-tekanan yang muncul dan akhirnya kita bisa memiliki kualitas kesabaran yang kuat dan bisa memiliki daya tahan terhadap berbagai tekanan.

https://nujateng.com/2023/04/puasa-sebagai-terapi-kesehatan-mental-2/

Author: Zant