Sekilas Catatan tentang Toleransi Beragama di Kaki Gunung Lawu Karanganyar

Melalui media sosial dan informasi yang kini begitu mudah diakses oleh siapun, sering dijumpai berbagai pemberitaan mengenai kasus intoleransi, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan mengarah kepada tindakan ekstremisme.

Sederet kasus tersebut membuat masyarakat menjadi prihatin dan was-was. Selain itu, kasus-kasus tersebut juga mencoreng citra dari karakter masyarakat Indonesia yang ramah dan toleran. Namun, selalu ada sebuah harapan dari berbagai masalah yang menimpa.

Contohnya, saat NU Online Jateng berkunjung belum lama ini (5/10/2022) di beberapa kampung di wilayah Kecamatan Jatiyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Kecamatan Jatiyoso merupakan daerah yang terletak di kaki Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar.

Suasana yang dingin dan asri, khas suasana di daerah pegunungan menambah sejuk hati dan pikiran. Terdapat pula pembangunan bendungan yang menjadi proyek nasional yang saat ini masih dalam proses pengerjaan yang harapanya nanti akan menjadi penunjang ekonomi masyrakat sekitar sebagai pusat wisata.

Masyarakat yang masih memegang budaya dan adat istiadat menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang berkunjung ke sini untuk menikmati kearifan lokal dan budaya toleransi yang terjalin erat di sini.

Di sebuah Gereja Kristen Protestan di Dusun Kangsi, Desa Karangsari. Di sana, tinggal seorang pendeta bernama Daniel yang menjadi tokoh agama Kristen Protestan bersama dengan Istrinya Pendeta Tabita.

Dengan ramah Pendeta Daniel menyambut tamunya dan mempersilahkannya masuk ke ruang tamu rumahnya, yang satu bangunan dengan gereja tersebut. Kebetulan saat itu ada beberapa pemuda gereja tengah melakukan acara gladi bersih dengan bermain musik di dalam Gereja untuk ibadah rutin setiap hari Ahad.

Ditemani dengan teh hangat yang disuguhkan kepada semua tamu, Pendeta Daniel menceritakan kebahagiaanya selama tinggal di sini. “Saya merasa, di sini tingkat kedewasaan masyarakat itu tinggi. Toleransinya kepada kami minoritas luar biasa baiknya. Kami merasa ada yang melindungi di sini,” ungkapnya.

Dikatakan, selama ini ketika dalam berkegiatan, pihaknya tidak mendapatkan diskriminasi. “Hidup di sini kami merasa sangat dihargai sebagai anggota masyarakat tidak dibeda-bedakan. Walaupun keyakinan kami berbeda. Bahkan, kami pun dizinkan mendirikan gereja. Dalam kegiatan masyarakat, kami diajak bersama-sama gotong royong dalam kegiatan kemasyarakatan,” imbuhnya.

Dengan latar belakang masyarakat yang majemuk dari segi sosial, ekonomi, agama dan kepercayaan, semua masyarakat dapat hidup rukun satu sama lain dalam kehidupan masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai toleransi. Daniel juga mengungkapkan kebahagiannya juga ketika bisa saling membantu santu sama lain tanpa membedakan keyakinan beragama. Semisal, ketika pihaknya mengadakan pengobatan gratis di gereja.

“Kami merasa sangat bahagia sekali ketika didukung oleh masyarakat dan itu tadi kami merasa dilindungi. Ketika perayaan natal kami undang mereka setelah acara peribadatan, untuk ramah tamah dan jamuan, mereka juga hadir. Bahkan, masyarakat ada yang membantu keamanan dan ketertiban, sampai parkirpun juga dibantu itu merupakan sebuah wujud toleransi yang sebenarnya kami rasakan,” kata dia.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), di Jatiyoso terdapat 42.323 penduduk yang beragama Islam, Protestan ada 192 Pemeluk, Katolik ada 29, dan Budha ada 15. Dari data tersebut dapat disimpulkan Islam menjadi agama mayoritas penduduk di Jatiyoso. Namun, yang menarik tidak sedikit pula berdirinya tempat ibadah-ibadah lain, serta pusat kegiatan aliran kepercayaan yang menjalankan keyakinanya dalam memenuhi hak asasinya sebagai seorang manusia.

Peran Tokoh Agama

Kepada NU Online Jateng Daniel mengatakan, toleransi yang terbangun, tidak lepas dari peran tokoh-tokoh masyarakat yang ingin menyatukan perbedaan dalam bingkai kemasyarakatan yang harmonis. “Melalui duduk bersama dan komunikasi dari tokoh-tokoh masyarakat, dan tidak terlepas dari upaya yang sudah dulu mengawali menjalin hubungan baik dengan mempersatukan masyarakat yang berbeda keyakinan agar saling hidup rukun dalam bingkai kemasyarakatan,” ujarnya.

Terkait dengan upaya sinergitas antartokoh agama dan masyarakat tersebut diakui menjadi salah satu faktor penting dalam upaya menjalin toleransi di Jatiyoso. Camat Jatiyoso, Heru Joko Sulistyono, saat ditemui NU Online Jateng di lain kesempatan (6/10/2022) mengatakan, pemerintah ikut terbantu dengan upaya toleransi yang sudah terbangun antarmasyarakat. “Agar kerukunan antarumat beragama ini terus terjalin hingga generasi selanjutnya, maka salah satu upaya kami adalah memberikan sosialisasi akan pentingnya toleransi,” kata dia.

Ketika ada momen ibadah maupun perayaan agama manapun, pemerintah mesti ikut hadir sebagai pemberi keamanan dan kenyamanan kepada umat beragama dan berkeyakinan. “Kami bersama-sama, berbagi tugas untuk diterjunkan titik-titik perayaan ibadah, baik Natal, Idul Fitri, maupun perayaan keagamaan lainnya,” ungkapnya.

Salah satunya, dengan membentuk relawan kemanusiaan, sebagai upaya untuk mempersatukan perbedaan antar agama dan keyakinan. “Relawan Jatiyoso dibentuk untuk mempersatukan mereka adalah dalam bingkai kemanusian,” terangnya.

Kepala Dusun (Kadus) Kangsi, Desa Karangsari Hartono menyampaikan, di wilayahnya terdapat sekitar 1.200 penduduk yang heterogen. Meski berbeda agama dan keyakinan, namun hidup rukun dalam bingkai kemasyarakatan. “Berbeda agama bukan menjadi sebuah penghalang dalam kerukunan dan persatuan, yang kami utamakan adalah masyarakat yang harmonis,” ungkap Hartono, yang juga aktif dalam organisasi Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Karanganyar tersebut.

Selain yang beragama Islam dan Kristen, di Dusun Kangsi terdapat aliran kepercayaan yang penganutnya ada sekitar 5 orang. Dalam kegiatan keagaaman, semua tokoh agama yang berbeda-beda saling berkoordinasi dan berkomunikasi ketika akan melaksanankan kegiatan ibadah. Semisal dalam momen acara Natal, yang berbeda keyakinanpun ikut terlibat dalam memberikan keamanan dan kenyamanan untuk mereka dalam menjalahkan ibadahnya untuk mewujudkan kehidupan bermyarakat yang harmonis.

“Jadi kami diundang dan datang tidak untuk bribadah tapi untuk kemasyarakatan yang diadakan pihak gereja. Ketika pas acara peribadatan yang diterjunkan di situ adalah anggota Polri dan TNI bersama Banser dan elemen masyarakat lainnya,” ujarnya.

Sebaliknya lanjut Hartono, Ketika ada momen Hari Raya Idul Fitri, giliran dari pemeluk non-muslim yang ikut menjaga acara. “Setelah shalat, kami saling berjabat tangan, ramah tamah merayakan Idhul fitri bersama dan bahagia,” terangnya.

Kunci Terwujudnya Toleransi

Upaya yang dilakukan oleh masyarakat Jatiyoso tersebut menjadi salah satu contoh bagus, betapa pengakuan dan penghormatan antarsesama pemeluk agama, menjadi faktor yang penting dalam mewujudkan toleransi.

Pengajar mata kuliah Wawasan Moderasi Beragama Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Mas Said Surakarta Rosidi menegaskan bahwa pengakuan atas Hak Asasi Manusia adalah kunci utama terwujudnya toleransi. “Kita harus mengakui huququl insaniyah atau yang dikenal dengan Hak Asasi Manusia. Keberlangsungan kehidupan manusia yang heterogen baik agama, suku, bahasa maupun bangsa itu bisa terjamin salah satunya dengan sikap toleran,” kata Rosidi kepada NU Online Jateng, Rabu (6/10/2022).

Toleransi tersebut dibangun dengan tanpa meninggalkan dan menanggalkan akidah masing-masing, tapi punya tujuan yang sama. “Ikut membangun bangsa ini dengan kebersamaan,” imbuh Ketua Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kabupaten Karanganyar itu. Menurutnya, kerukunan umat beragama dapat terwujud ditentukan oleh dua faktor. “Pertama yakni sikap dan perilaku masing-masing umat beragama sendiri dan kedua kebijakan negara atau pemerintah yang kondusif bagi kerukunan. Pemerintah harus hadir dengan perannya sebagai pemersatu,” ucap Ketua Forum Generasi Muda Lintas Agama (Forgimala) Karanganyar tersebut.

Pegiat Paguyuban Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Jatiyoso Taryanto menambahkan, melalui pendidikan serta pemahaman agama yang benar, menjadi kunci kerukunan umat beragama dan keyakinan di Jatiyoso.

“Beberapa tahun silam, di sini (Jatiyoso) menjadi sorotan karena adanya kasus terorisme dan pelakunya adalah warga Jatiyoso dan kebetulan KTP-nya Islam, walaupun terorisme tidak berasal dari agama apapun. Karena kebetulan pelakunya berindentitas KTP Islam untuk membendung gerakan intoleran tersebut kami mengajak ustadz-ustadz yang mengabdikan dirinya kepada masyarakat untuk membantu memberikan pemahaman agama Islam yang rahmatan lil alamin, sehingga paham radikalisme dapat dibendung kehadirannya serta dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat umum bahwa terorisme tidak diajarkan dalam Islam. Gerakan terorisme tidak berasal dari agama,” kata dia.

Ketika itu, kemudian sekitar 42 orang guru ngaji dengan paham moderat dari pesantren didatangkan untuk menyebarkan ajaran Islam yang moderat dan rahmatan lil alamin. “Kami berinisiatif bersama Nahdlatul Ulama (NU) menggandeng pesantren-pesantren untuk mengirimkan alumninya berjuang di Jatiyoso dan sekarang jumlahnya sudah banyak,” ungkapnya.

Cara yang dlakukan masyarakat Jatiyoso ini imbuh Taryanto, dapat ditiru di daerah lainnya. Tentu mesti disesuaikan dengan khasanah, adat, dan budaya setempat. “Agar terjalin hubungan yang harmonis dengan perbedaan pandangan akan keyakinan dan beragama, tidak dapat dipaksakan kepada setiap orang dalam sebuah lingkungan sehingga peran serta pemerintah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat,” imbuhnya.

Hal tersebut, kata dia, dapat menjadi kunci dalam gerakan perwujudan toleransi. Toleransi harus dimulai dari diri sendiri. Kebebasan berkeyakinan dan beragama merupakan hak asasi manusia yang mutlak dalam kehidupan bermasyarakat bahkan bernegara, agar tercipta kehidupan yang harmonis damai tanpa permusuhan.

Amin Nugroho, Kontributor NU Online Jateng, tinggal di kabupaten Karanganyar


https://jateng.nu.or.id/opini/sekilas-catatan-tentang-toleransi-beragama-di-kaki-gunung-lawu-karanganyar-d7szT

Author: Zant